Sabtu, 02 April 2011

MAULID NABI MUHAMMADA SALLALLAHU ALAIHI WASALLAM DALAM TIMBANGAN SYARI'AT

MAULID NABI MUHAMMADA SALLALLAHU ALAIHI WASALLAM

DALAM TIMBANGAN SYARI'AT

“Sebuah Studi atas Sejarah dan Legalitas Hukum”

Oleh:H.A.Khudori Yusuf.Lc.MA

A. PENDAHULUAN

Sesungguhnya Nabi Muhammada Sallallahu alaihi Wasallam adalah utusan Allah dan rahmat bagi sekalian alam.Nabi Muhammad SAW. adalah nikmat terbesar dan anugerah teragung yang Allah berikan kepada alam semesta. Ketika manusia saat itu berada dalam kegelapan syirik, kufur, dan tidak mengenal Rabb pencipta mereka. Manusia mengalami krisis spiritual dan moral yang luar biasa. Nilai-nilai kemanusiaan sudah terbalik. Penyembahan terhadap berhala-berhala suatu kehormatan, perzinaan suatu kebanggaan, mabuk dan berjudi adalah kejantanan, dan merampok serta membunuh adalah suatu keberanian. Di saat seperti ini rahmat ilahi memancar dari jazirah Arab. Dunia ini melahirkan seorang Rasul yang ditunggu oleh alam semesta untuk menghentikan semua kerusakan ini dan membawanya kepada cahaya ilahi.Kelahiran makhluk mulia yang ditunggu jagad raya membuat alam tersenyum, gembira dan memancarkan cahaya. Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi pengarang kitab Maulid Habsyi (Biasa disebut Simtu Duror atau lengkapnya Simthud-Durar fi akhbar Mawlid Khairil Basyar min akhlaqi wa awshaafi wa siyar) menggambarkan kelahiran Nabi Mulia itu dalam syairnya yang indah:

اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد

“Alam bersinar cemerlang bersukaria demi menyambut kelahiran Ahmad Al-Musthofa Penghuni alam bersukacita Dengan kegembiraan yang berterusan selamanya”.

Dengan tuntunan Allah SWT Nabi Muhammad SAW pun berhasil melaksanakan misi risalah yang diamanahkan kepadanya. Setelah melalui perjalanan dakwah dan jihad selama kurang lebih 23 tahun dengan berbagai macam rintangan dan hambatan yang menimpa Rasulullah SAW berhasil mengeluarkan umat dan mengantarkan bangsa Arab dari penyembahan makhluk menuju kepada penyembahan Rabbnya makhluk, dari kezaliman jahiliyah menuju keadilan Islam. Jazakallah ya Rasulallah an ummatika afdhola ma jazallah nabiyyan an ummatih.

Baiklah sebelum kita membahas masalah memperingati Maulid Nabi SAW serta membahas dalil-dalil yang menunjukan bolehnya memperingati Maulid yang mulia ini dan berkumpul dalam acara tersebut,ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan perayaan maulid

Pertama,kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya,melainkan selalu dan selamanya,di setiap waktu dan setiap kesempatan ketika kita mendapatkan kegembiraan,terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau,yaitu Rabi’ul Awwal,dan pada hari kelahiran beliau,hari Senin.Tidak layak seorang yang berakal bertanya,“Mengapa kalian memperingatinya?”Karena, seolah-olah ia bertanya,“Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?”.Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban.Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian,“Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan beliau, saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin”.

Kedua, yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orang-orang yang hadir,memuliakan orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai beliau.

Ketiga, kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syariat secara jelas, sebagaimana halnya shalat, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid tidak seperti shalat, puasa, dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.

Keempat, berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh dilewatkan.Bahkan, para dai dan ulama wajib mengingatkan umat tentang Nabi,baik akhlaqnya,hal ihwalnya, sirahnya,muamalahnya,maupun ibadahnya,di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’ah,keburukan,dan fitnah.

Jika peringatan maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah saw., mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah tegaskan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Ketika acara maulid seperti demikian, alasan apa masih disebut dengan bid’ah? dan setiap bid’ah pasti sesat, dan setiap yang sesat pasti masuk neraka, tidak semuanya benar.!

Sebagai pembuka dalam pembahasan memperingati Maulid Nabi SAW,ada baiknya kita kutip perkataan seorang ulama kharismatik dari Universitas Al-Azhar Mesir Imam Mutawalli Sha`Rawi dalam bukunya al-Fikr Ma'idat al-Islamiyya " Jika makhluk hidup bahagia atas kelahiran Nabi nya itu dan semua tanaman senang atas kelahirannya, semua binatang senang atas kelahirannya semua malaikat senang atas kelahirannya, dan semua jin senang atas kelahirannya, mengapa engkau mencegah kami dari yang bahagia atas kelahirannya? " (untuk menjawab pendapat orang orang yang tidak memperbolehkan perayaan Maulid Nabi).

Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:


ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ


“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).

Dari latar belakang ini lah umat islam merasakan kebahagian luar biasa atas kelahiran nabi dan memperingatinya setiap tahunnya, bahkan pada saat ini di setiap negara muslim, kita pasti menemukan orang-orang yang merayakan ulang tahun Nabi yang disebut dengan hari Maulid Nabi. Hal ini berlaku pada mayoritas umat islam di banyak Negara misalnya sebagai berikut: Mesir, Suriah, Libanon, Yordania, Palestina, Irak, Kuwait, Uni Emirat, Saudi Arabia (pada sebagian tempat saja) Sudan, Yaman, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, Mauritania, Djibouti, Somalia, Turki, Pakistan, India, Sri Lanka, Iran, Afghanistan, Azerbaidjan, Uzbekistan, Turkestan, Bosnia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan sebagian besar negara- negara Islam lainnya. Di negara-negara tersebut bahkan kebanyakan diperingati sebagai hari libur nasional. Semua negara-negara ini, yaitu duwal islamiyah, merayakan hari peringatan peristiwa ini. Bagaimana bisa pada saat ini ada sebagian minoritas yang berpendapat dan mempunyai keputusan bahwa memperingati acara maulid Nabi adalah sebuah keharaman dan bid’ah yang sebaiknya di tinggalkan oleh umat islam.

Hukum perayaan maulid telah menjadi topik perdebatan para ulama sejak lama dalam sejarah Islam, yaitu antara kalangan yang memperbolehkan dan yang melarangnya karena dianggap bid'ah. Hingga saat ini pun masalah hukum maulid, masih menjadi topik hangat yang diperdebatkan kalangan muslim. Yang ironis, di beberapa lapisan masyarakat muslim saat ini permasalahan peringatan maulid sering dijadikan tema untuk berbeda pendapat yang kurang sehat, dijadikan topik untuk saling menghujat, saling menuduh sesat dan lain sebagainya. Bahkan yang tragis, masalah peringatan maulid nabi ini juga menimbulkan kekerasan sektarianisme antar pemeluk Islam di beberapa tempat.

Untuk lebih jelas mengenai duduk persoalan hukum maulid ini, ada baiknya kita telaah kembali sejarah pemikiran Islam tentang perayaan Maulid ini dari pendapat para ulama terdahulu dan menelisik lebih jauh awal mula tradisi perayaan Maulid ini. Tentu saja tulisan ini tidak memuat semua pendapat ulama Islam, tetapi cukup dapat dijadikan rujukan untuk membuat sebuah peta pemikiran dalam memahi hakikat Maulid secara komprehensif dan menyikapinya dengan bijaksana.

A. SEJARAH SINGKAT MAULID

Memang benar Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in. Menurut Al-Sakhowi, al-Maqrizi Al-Syafi'i (854 H) dalam bukunya "Al-Khutath" menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fathimiyyah di Mesir. Dinasti Fathimiyyah mulai menguasai Mesir pada tahun 358 H dengan rajanya Al-Muiz Lidinillah, Namun sebenarnya menurut DR.N.J.G. Kaptein peneliti sejarah kebudayaan Islam dari Leiden University sumber asli yang menyebutkan tentang Maulid Nabi pada zaman tersebut sudah hilang. Konsekuensinya, perayaan Maulid pada zaman Fathimiyyah hanya diketahui secara tidak langsung dari beberapa sumber sejarawan yang hidup belakangan seperti Al-Maqrizi yang hanya melacak dari kitab yang telah hilang dari ulama zaman Fathimiyyah yaitu Ibnu Ma’mun ( Nama lengkapnya adalah Jamaluddin ibn Al-Ma’mun Abi Abdillah Muhammad ibn Fatik ibn Mukhtar Al-Bata’ihi dilahirkan sekitar sebelum tahun 515 H. Ayahnya adalah seorang wazir dinasti Fathimiyyah) dan Ibnu Tuwayr (Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdus Salam Al-Murtadho ibn Muhamammad ibn Abdus Salam ibn Al-Tuwayr Al-Fahrani Al-Qaysarani(525/1130-617/1220) seorang ulama dan sejarawan Mesir di antara kitabnya adalah Nuzhatul al maqtalaini fi akhbar al duwalataini al fatimiyyah wa sholahiyyah)

Ibnu Al-Ma’mun.Kitab Sejarah yang paling awal menyebutkan tentang maulid di zaman Fathimiyyah adalah kitab karangan Ibn Al-Ma’mun. Sebenarnya kitab ini sudah hilang tetapi ada beberapa penulis yang menggunakan sumber dari hasil karya beliau di antaranya adalah Ibn Zafir (Wafat 613/1216 )[7], Kedua Ibn Muyassar(677/1277), ketiga Ibn Abd Al Zahir(w 692/1292). Tetapi yang paling banyak menggunakan sumber dokumentasi sejarah Ibn Ma’mun adalah sejarawan Al-Maqrizi Al-Syafi'i.Dalam beberapa bagian dalam kitab Khutat, Ibn Al-Ma’mun adalah salah satu sumber yang paling penting tentang deskripsi acara acara yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyyah seperti perayaan hari besar, festival, upacara dan sebagainya. Karena Ibn Al-Ma’mun adalah saksi hidup sebagai anak dari seorang wazir yang biasa menyelenggarakan banyak kegiatan perayaan dan seremonial kerajaan.Maulid di kenal kala itu dengan kata “Qala”. Ibn Al-Ma’mun berkata : sejak Afdhal Syahinsyah ibn Amirul Juyusy Badr al-Jamali menjadi wazir dia menghapus empat perayaan maulid yaitu maulid Nabi, Ali, Fatimah, dan imam yang saat itu memerintah. Sampai dia wafat tahun 515H barulah perayaan Maulid Nabi diselenggarakan lagi seperti dahulu oleh khalifah Al-Amir dan itu diteruskan sampai sekarang.

Ibn Al-Tuwayr.Sumber kedua dari informasi perayaan Maulid pada zaman Fatimiyah adalah Ibn Al-Tuwayr. Penulis yang banyak menggunakan tulisan dia sebagai sumber sejarah adalah di antaranya adalah Ibn Al-Furat (807H), Ibn Khaldun (808H), Ibn Duqmaq (809H), Al-Qashashandi (821H), Al-Maqrazi (845H), Ibn Hajar Al-Asqalani (874H), Penulis-penulis tersebut menggunakan sumber informasi Ibn Tuwayr untuk mengkaji peristiwa-peristiwa yang terjadi pada era Dinasti Fathimiyyah. Beberapa peristiwa sejarah penting tentang sebuah perayaan terdapat di dalam dokumennya yang disebut mukhlaqat yang kemudian dicatat oleh para sejarawan selanjutnya seperti Al-Maqrizi yang kitab nya bisa kita baca pada zaman sekarang.Ibn Al-Tuwayr berkata, perayaan Maulid saat dinasti Fathimiyyah itu ada enam perayaan dan di antaranya adalah perayaan Maulid Nabi, Ali Bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan, Husein, dan Khalifah yang saat itu memerintah. Ketika 12 Rabiul Awal datang, di beberapa tempat diadakan acara besar seperti membaca Al-Qur’an, pengajian di beberapa masjid dan mushola, dan beberapa majelis juga ikut untuk merayakannya.

Sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tarikhnya bidayah wa nihayah, diikuti oleh Alhafiz Imam Suyuthi dalam Husn Al-Maqsid Fi 'Amal al-Maulid juga pendapat yang dikuatkan oleh Prof Dr Sayyid Muhammad Alwi Al maliki dalam kitabnya Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, menurut mereka yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah seorang Raja Irbil (Saat itu gubernur terkadang di sebut malik atau amir. Irbil saat itu adalah propinsi masuk dalam Dinasti Ayyubiyyah.Irbil saat ini masuk dalam wilayah Kurdistan Iraq) yang dikenal keshalehannya dan kebaikannya dalam sejarah Islam yaitu Malik Muzhaffaruddin Abu Said Kukburi ibn Zainuddin Ali Ibn Tubaktakin pada tahun 630 H. Beliau adalah seorang pembesar dinasti Ayyubiyah yang kemudian dia mendapatkan mandat untuk memerintah Irbil pada tahun 586 H.

Ibn Katsir bercerita mengatakan: “ Malik Muzhaffaruddin mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al- Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut Malik Muzhaffaruddin mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ia menyembelih 15.000 ekor Kambing, 10.000 ekor Ayam, 100 Kuda, 100 ribu keju, 30 ribu manisan untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Setiap tahunnya perayaan ini menghabiskan 300.000 Dinar. Perayaan ini diisi oleh ulama-ulama serta tokoh-tokoh sufi dari mulai Dzuhur sampe Subuh dengan ceramah-ceramah dan tarian-tarian sufi. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja Al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan Maulid Nabi yang digelar besar-besaran itu.

Menurut ibn khalIikan, perayaan tersebut dihadiri oleh ulama dan sufi-sufi dari tetangga irbil, dari Baghdad, Mosul, Jaziroh, Sinjar, Nashibin, yang sudah berdatangan sejak Muharram sampai Rabiul Awwal. Pada awalnya Malik Muzhaffaruddin mendirikan kubah dari kayu sekitar 20 kubah, di mana setiap kubahnya memuat 4-5 kelompok, dan setiap bulan Safar kubah-kubah tersebut dihiasi dengan berbagai macam hiasan indah, di setiap kubah terdapat sekelompok paduan suara dan seperangkat alat musik, pada masa ini semua kegiatan masyarakat terfokus pada pelaksanaan acara pra-maulid dan mendekorasi kubah-kubah tersebut.

Ibn Khallikan juga menceritakan bahwa Al-Imam Al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil, beliau mendapati Malik Muzhaffaruddin , raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “At-Tanwir Fi Maulid Al-Basyir An- Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Raja Al-Muzhaffar. Perayaan itu dilaksanakan 2 kali dalam setahun, yaitu pada tanggal 8 Rabiul Awal dan 12 Rabiul Awal, karena perbedaan pendapat ulama dalam Maulid Nabi.

Di Indonesia, terutama dipesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi ’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam.Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat.

Sekalipun dalam dua pendapat ini menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 4 H dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri sebagaimana yang akan kami terangkan secara detail nanti pada Pembahasan hukum merayakan Maulid Nabi.

B. DALIL-DALIL MAULID

Orang-orang yang anti terhadap perayaan maulid suka melontarkan beberapa pertanyaan diantaranya adalah:

Bolehkah Merayakan Maulid Nabi?Pernahkah Nabi merayakan Maulid? Tentu saja jawabannya tidak, jika pun ada dalam literatur turats, teks hadits atau atsar yang berisi anjuran tentang merayakan dan mengagungkan maulid Nabi bisa dipastikan maudhu’ atau palsu, karena jika merujuk pada referensi sejarah, Nabi dan para sahabatnya tidak pernah merayakan maulid Nabi, catatan sejarah menyantumkan bahwa maulid Nabi pertama kali dirayakan oleh dinasti Fathimiyah pada pertengahan abad ke empat hijriah.

Realita ini tentunya akan menimbulkan pertanyaan: apakah jika maulid tidak dirayakan oleh Nabi lantas kita dilarang merayakannya?

Sebagian orang mengambil kesimpulan bahwa jika nabi tidak merayakan maulid (padahal beliau lebih mengetahui perbuatan yang bernilai ibadah) maka umatnya pun dilarang merayakan maulid karena hal itu berarti mengada-ngada ibadah yang tidak dicontohkan oleh Nabi.

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu mendalami terlebih dahulu apa arti hukum dan dasar apa yang melahirkan hukum.

Dalam kajian Ushul Fiqih, definisi Hukum adalah : Khitab (kalam) Allah yang berhubungan dengan aktivitas mukallaf (dewasa yang berakal sehat), baik berbentuk tuntutan atau pilihan, detailnya hukum itu mencakup :

1. Tuntutan terhadap mukallaf untuk mengerjakan perbuatan secara tegas (wajib) atau secara tidak tegas (sunnah)

2. Tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan secara tegas (haram) atau secara tidak tegas (makruh)

3. Pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan (mubah)

inilah lima hukum syar’i yang ada dalam syariat Islam, dasar yang membentuk lima hukum ini disebut dalil, dalil bisa berupa Al-Qur’an, Hadits, Ijma dan Qiyas. Ada dalil tentang sebuah perbuatan berarti ada hukum terkait perbuatan itu pula, tidak ada dalil tentang sebuah perbuatan berarti hukum itu vakum sampai adanya dalil eksplisit yang menyinggungnya.

Nabi tidak mengerjakan maulid bukan berarti menjadi argumen haramnya merayakan maulid, ada banyak sekali probabilitas mengapa Nabi tidak mengerjakan atau meninggalkan sebuah perbuatan, misalnya saja :

1. Faktor kebiasaan

Ketika Nabi mendatangi sebuah kaum, beliau dihidangkan Biawak bakar, kemudian beliau menyentuhnya untuk dimakan. Seorang sahabat kemudian berkata: “Sesungguhnya itu adalah biawak”. Lalu beliau menahan tangannya (dan tidak jadi makan). Sahabat tadi bertanya: “Apakah haram wahai Rasul?” Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: “Tidak, akan tetapi tidak aku temui binatang ini di kaumku, maka aku enggan untuk memakannya".

Di dalam hadits ini terdapat satu kaidah penting bahwa " Nabi meninggalkan sesuatu, tidak berarti haram melakukan apa yang ditinggalkan" demikian pula bahwa nabi enggan memakan tidak berarti makanan itu diharamkan untuk umatnya terbukti saat di jamuan tersebut Kholid bin Walid memakan Biawak di hadapan beliau, Nabi tidak melarangnya.

2. Faktor lupa

Suatu saat di dalam melaksanakan shalat, ada yang tertinggal oleh Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kemudian beliau ditanya oleh sahabat; “apakah terjadi sesuatu di dalam shalat wahai Rasul?” Beliau menjawab: “sesungguhnya saya adalah seorang manusia, saya lupa sebagaimana kalian juga lupa, maka apabila saya lupa, ingatkanlah saya”.

3. Khawatir akan menjadi sebuah kewajiban

Ada banyak perbuatan yang nabi meningalkannya karena rasa khawatir akan menjadi kewajiban bagi umatnya. Sebagaimana halnya shalat tarawih yang ditinggalkan oleh nabi karena khawatir akan menjadi kewajiban bagi umatnya

4. Belum terlintas dalam benak beliau

Ada banyak hal yang tidak dikerjakan oleh Nabi karena belum terlintas di benak beliau, misalnya saja:

a. Nabi ketika berkhutbah, belum terfikir untuk membuat kursi dan mimbar yang bisa berdiri diatasnya saat menyampaikan khutbah. Suatu saat sahabat mengajukan usulan untuk membuat mimbar dan Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkhutbah di atasnya. Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pun sepakat dan menyetujuinya, karena akan lebih jauh jangkauannya di dalam menyampaikan khutbah.

b. Dahulu Nabi ketika menerima tamu, beliau menerimanya di masjid atau di rumahnya, tidak ada semacam singgasana atau kursi kebesaran seperti para Raja. Kemudian sahabat mengusulkan, wahai Rasul, “bagaimana jikalau kami buatkan semacam kursi dari tanah yang bisa menjadi tempat dudukmu, agar diketahui oleh orang-orang asing yang baru datang di sini?” Rasul pun sepakat dan menyetujuinya.

c. Di dalam sebuah shalat, saat i`tidal (kembali dari ruku`) seorang sahabat membaca do`a yang belum diajarkan oleh Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, bunyinya "rabbana lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih". Ketika selesai shalat, beliau bertanya, siapa tadi yang membaca bacaaan ini ketika shalat? Sahabat terdiam dan khawatir. Tidak ada yang mengaku. Sampai Rasul bertanya tiga kali. Di kali ketiga sahabat Rifa`ah bin Yahya mengaku, Saya wahai Rasul! Rasul menanyainya, apa yang engkau baca tadi? Rifa`ah pun menyebutkannya. Kemudian Rasul menyampaikan; aku melihat 30 an malaikat yang berebutan untuk lebih dahulu mencatatnya!

Dari beberapa contoh ini kita ketahui, bahwa sebelumnya perbuatan-perbuatan diatas belum terlintas di fikiran Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, namun tidak berarti bahwa apa yang dilakukan sahabat itu haram karena tidak diajarkan oleh Rosul

5. Sudah masuk dalam keumuman dalil-dalil lainnya

Rasul meninggalkan sebuah karena sudah masuk ke dalam (include) keumuman ayat Al-Quran ataupun hadits. Seperti Rasul meninggalkan shalat Dhuha dan banyak pekerjaan sunnah atau mubah lainnya, karena anjuran untuk melakukannya sudah terkandung di dalam firman Allah, seperti Qs: Al Hajj: 77:

وَٱفْعَلُواْ ٱلْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Dan perbuatlah segala kebajikan, supaya kalian mendapat kemenangan."

6. Peduli pada situasi dan kondisi lingkungannya

Ketika berkehendak untuk membangun ulang Ka`bah, beliau berkata kepada Sayyidah Aisyah: "Kalaulah bukan khawatir dengan keadaan kaummu yang baru saja masuk Islam akan kembali menjadi kafir, maka pasti akan aku hancurkan Ka`bah dan aku akan bangun seukuran fondasi yang dibangun Nabi Ibrahim. Orang Qurays ada yang mengurangi dalam pembangunannya. (HR. Bukhari-Muslim). Rasul membatalkan untuk menghancurkan Ka`bah dan membangun ulang, karena tanggap terhadap kondisi umatnya ada yang baru saja masuk Islam dan dasar keimanannya bisa jadi belum kuat.

Jika kita kaji realita ini secara komprehensif dan tidak tergesa-gesa menghukuminya, maka akan ditemukan banyak sebab, kenapa Rasul tidak melakukan sebuah perbuatan/perkataan? Hal ini pula bisa menjadi sebuah argumen bahwa Nabi tidak mengerjakan maulid tidak lantas berarti haramnya hukum merayakan maulid.

Anjuran Merayakan Maulid

Jika tadi sudah membahas bahwa tidak ada satupun dalil yang melarang merayakan maulid, lalu apakah ada dalil yang menganjurkan untuk merayakan maulid?

Banyak sekali analisa para ulama dalam menyusun hipotesa dan membuktikan argumen adanya dalil yang menganjurkan untuk merayakan maulid, diantaranya adalah :

1. Firman Allah SWT:

ﻗُﻞْ ﺑِﻔَﻀْﻞِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﻭَﺑِﺮَﺣْﻤَﺘِﻪِ ﻓَﺒِﺬَﻟِﻚَ ﻓَﻠْﻴَﻔْﺮَﺣُﻮﺍْ ﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِّﻤَّﺎ ﻳَﺠْﻤَﻌُﻮﻥَ


“ Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ’” (QS.Yunus:58).

Jadi, Allah SWT menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya’: 107).

Dalam sebuah hadist disebutkan:

وذكر السهيلي أن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال : لما مات أبو لهب رأيته في منامي بعد حول في شر حال فقال ما لقيت بعدكم راحة الا أن العذاب يخفف عني كل يوم اثنين قال وذلك أن النبي صلى الله عليه وسلم ولد يوم الإثنين وكانت ثويبة بشرت أبا لهب بمولده فاعتقها .

As-Suhaeli telah menyebutkan” bahawa Abbas bin Abdul mutholibmelihat abu lahab dalam mimpinya,dan Abbas bertanya padanya,"Bagaimana keadaanmu?Abu lahab menjawab,di neraka,cuma setiap senin siksaku diringankan karena aku
membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw."(shahih bukhari hadits no.4813, sunan Baihaqi al-kubra hadits no.13701, syi'bul Iman no.281, fathul Baari al-Masyhur juz 11 hal431)

Peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu (Ketika Tsuwaibah, budak perempuan Abu Lahab, paman Nabi, menyampaikan berita gembira tentang kelahiran sang Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka cita. Dan karena kegembiraannya, kelak di alam baqa’ siksa atas dirinya diringankan setiap hari Senin tiba. Demikianlah rahmat Allah terhadap siapa pun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafir pun Allah merahmati, karena kegembiraannya atas kelahiran sang Nabi, bagaimanakah kiranya anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?

2. Hadist Riwayat Imam Muslim


ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻗَﺘَﺎﺩَﺓَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻱِّ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ: ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺳُﺌِﻞَ ﻋَﻦْ ﺻَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺈِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ” :ﻓِﻴْﻪِ ﻭُﻟِﺪْﺕُ ﻭَﻓِﻴْﻪِ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻋَﻠَﻲَّ . ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢ


“ Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku. ” (H.R. Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur
kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur 'an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya. Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh as- Sakhawi.

3. Firman Allah

وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.. (Hud :120)”

Dari ayat ini nyatalah bahwa hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini kita pun butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tentang beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya

4. Hadits riwayat Imam al- Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura' (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: "Untuk apa mereka berpuasa?" Mereka menjawab: "Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah ". Kemudian Rasulullah bersabda:


ﺃَﻧَﺎ ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﻤُﻮْﺳَﻰ ﻣِﻨْﻜُﻢْ


"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian". Lalu Rasulullah berpuasa dan
memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.


Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan
syukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di
setiap tahunnya.Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa,sedekah,membaca al-Qur'an dan semacamnya.Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi 'ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani.

5. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً)الأحزاب:56(

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman,bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” (QS Al-Ahzab: 56).


Apa saja yang mendorong orang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti hal itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala,

6. Hadist Riwayat Imam Muslim


ﻣَﻦْ ﺳَﻦَّ ﻓﻲِ ﺍْﻹِﺳْـﻼَﻡِ ﺳُﻨَّﺔً ﺣَﺴَﻨـَﺔً ﻓَﻠَﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ﻭَﺃَﺟْﺮُ ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﻘُﺺَ ﻣِﻦْ ﺃُﺟُﻮْﺭِﻫِﻢْ ﺷَﻰْﺀٌ (ﺭﻭﺍﻩﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ﺻﺤﻴﺤﻪ )


"Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebua perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun ". (HR.Muslim dalam kitab Shahihnya).


Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur 'an, Sunnah, Atsar maupun Ijma'. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu- pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.

Dari argument-argumen di atas, bisa disimpulkan bahwa merayakan maulid adalah implementasi rasa syukur atas kelahiran Nabi yang merupakan Rahmat bagi seluruh alam semesta, dan Allah menganjurkan agar hambanya bergembira dan bersyukur atas setiap ni’mat dan karunia-Nya sesuai dengan firmanNya:

قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا هو خير مما يجمعون

Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (QS.Yunus:58)

Kesimpulan dan Saran:

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa:

1. Maulid Nabi adalah merupakan sebuah tradisi dan budaya dalam agama Islam

2. Maulid Nabi tidak digagas oleh Nabi Muhammad dan karenanya Nabi Muhammad dan para sahabatnya tidak pernah merayakan peringatan maulid Nabi

3. Maulid Nabi bukan sebuah ritual peribadatan. Secara esensial merayakan maulid Nabi hanya bernilai sebagai tradisi saja dan jika hanya dinilai dari eksistensinya dan seremonialnya saja, maka merayakan Maulid Nabi tidak bernilai ibadah karena tidak memiliki dalil independen yang tegas dan pasti, merayakan maulid Nabi baru bisa dikatakan bernilai ibadah jika dilangsungkan untuk mencintai Nabi, mempelajari biografinya dan meneladani prilakunya. Sementara finansial yang digunakan untuk merayakan maulid bisa langsung bernilai ibadah jika diniati shodaqoh.

4. Dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau,mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadi beliau.Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

5. Peringatan Maulid merupakan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaqnya yang utama.Dulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashidah-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepada beliau, yakni dengan manarik kecintaannya dan keridhaannya.

6. Mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, balk fisik (tubuh) maupun akhlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

7. Mengagungkan Nabi SAW itu disyariatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.

8. Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari Jum’at, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan:” Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ketika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari di lahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulla?

9. Peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan qaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud, “Apa yang dipandang balk oleh kaum muslimin, ia pun balk di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”

10. Dalam peringatan Maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.

11. Tidak semua yang tidak pernah dilakukan para salaf dan tidak ada di awal Islam berarti bid’ah yang munkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib untuk ditentang. Melainkan apa yang “baru” itu (yang belum pernah dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalii-dalil syara’.

12. Tidak semua bid’ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat Tarawih, padahal ia mengatakan, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid’ah yang haram apabila semua bid’ah itu diharamkan.

13. Peringatan Maulid Nabi, meskipun tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid’ah, adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang balk), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah kulliyyah (yang bersifat global).Jadi, peringatan Maulid itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan perinaan-perinaan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di masa Nabi.

14. Semua yang tidak ada pada awal masa Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.

15. Setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar’i dan tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemunkaran,itu termasuk ajaran agama.

16. Memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang Anda lihat, sebagian besar amaliah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

17. Setiap inovasi dan kreasi baru dalam beragama dikatagorikan sebagai bid’ah, menyikapi masalah bid’ah terjadi perselisihan pendapat di antara para ulama yang terbagi dalam dua kelompok:

1) Kelompok Pertama adalah yang menyatakan bahwa setiap Bid’ah adalah sesat, di antara tokoh-tokoh kelompok ini adalah Imam Syatibi dan Ibnu Taimiyah, di kemudian hari pendapat ini diadopsi oleh para pengikut faham Wahabi / Salafy

2) Kelompok kedua adalah mayoritas Ulama yang tidak menggenaralisir bahwa semua bid’ah adalah sesat, mereka mengklafisikan bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan bid’ah yang buruk

Meski Maulid tidak pernah dicontohkan oleh Nabi bukan berarti kaum Muslimin dilarang merayakannya. Dalam hal ini ada dua pendapat Fuqoha dalam menyikapi maulid Nabi:

1) Kelompok pertama yang mengharamkan maulid Nabi dengan alasan bahwa merayakan maulid adalah bid’ah dan tidak dipernah dicontohkan oleh Nabi, rata-rata pengikut kelompok ini adalah Mazhab Wahabi / Salafy.

2) Kelompok kedua yang membolehkan bahkan menganjurkan maulid Nabi sebagai bagian dari cinta Nabi dan implementasi rasa syukur atas kelahiran Nabi, pendapat ini adalah pendapat mayoritas Ulama.

Patut untuk dicatat bahwa meski ada sebagian Ulama yang menggeneralisir bahwa semua bid’ah adalah sesat sebagaimana pendapat kelompok Wahabi / Salafy, namun mereka tetap memperbolehkan bahkan menganjurkan perayaan Maulid Nabi serta tidak memasukannya ke dalam kategori bid’ah tetapi mereka memasukannya sebagai Maslahatul Mursalah.Dalam kajian ushul fiqih, Maslahatul Mursalah biasa diartikan sebagai sebuah kebaikan yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun yang membahasnya, baik dalil yang mendukung ataupun dalil yang melarang, karenanya Maslahatul Mursalah secara sederhana adalah setiap kebaikan yang senafas dengan syariat meski tidak disinggung oleh satu dalil pun.

18. Ajaran agama Islam selalu sejalan dengan hal-hal yang baik, karenanya setiap perbuatan baik yang senafas dengan prinsip-prinsip agama meskipun tidak pernah dicontohkan atau dilakukan oleh Nabi tetap dianjurkan untuk melakukannya selagi tidak berkenaan dengan tata cara peribadatan.

19. Agama Islam mengedepankan pentingnya menata niat dan keikhlasan, berangkat dari dua point ini banyak hal yang awalnya bersifat duniawi (tidak bernilai ibadah / tidak berpahala) menjadi bersifat ukhrowi (bernilai ibadah / berpahala), hal ini sesuai dengan riwayat yang menyebutkan:

كم من عمل يتصور بصورة أعمال الدنيا فيصير بحسن النية من أعمال الآخرة ، وكم من عمل يتصور بصورة أعمال الآخرة فيصير بسوء النية من أعمال الدنيا

Banyak amal perbuatan yang berbentuk amal dunia lalu menjadi am akherat,sebab niat yang bagus. Dan banyak juga amal perbuatan yang kelihatannya amal akherat namun karena niat yang buruk maka menjadi amal dunia.”

Makan, minum dan tidur merupakan hal mubah dan duniawi, namun jika diniati dengan kebaikan semisal diniati agar kuat dalam melakukan ibadah maka bisa mendatangkan pahala, jika makan, minum dan tidur saja bisa bernilai ibadah jika dibarengi tata niat yang bagus apalagi merayakan maulid jika diniati untuk bergembira dan bersyukur karena lahirnya Nabi serta meneladani perilaku mulianya.

20. Khilafiyah dalam masalah furu’ adalah hal yang wajar dan manusiawi karena setiap person mempunyai cara pandang dan kadar intelektual yang berbeda-beda, untuk menyikapi perbedaan yang ada diperlukan kebijakan dan kearifan dari masing-masing kelompok karena perbedaan pendapat dan cara pandang masing-masing kelompok bukanlah merupakan kesalahan tapi sebaliknya justru semakin memperkaya khazanah tentang ragam alur fiqih dan hukum islam.

Para Ulama semuanya sepakat tentang prinsip-prinsip agama yang bersifat pokok (ushul) namun untuk hal-hal yang bersifat furu (cabang) ulama terkadang berbeda pendapat dalam sebuah kasus, bukan karena dalil yang dipakai berbeda, melainkan karena perbedaan cara pandang dalam menggunakan metodologi teknik pengambilan kesimpulan hukum, dalam menentukan hukum sebuah kasus ada sejumlah dalil yang keabsahan dan validitasnya disepakati dan wajib ditaati yaitu : Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, di luar empat dalil ini ada dalil yang digunakan oleh satu mazhab tapi ditentang mazhab yang lain misalnya: Hanafiyah menggunakan dasar Istihsan namun Syafi’iyah menolak penggunaan dasar Istihsan ini, dan dasar dalil yang belum tentu disepakati oleh semua mazhab jumlahnya cukup beraneka ragam, misalnya saddan lidzdzri'ah, qaulu shahabi, istishab, syar'u man qablana ataupun amalu ahlil madinah.

Bahkan terkadang meskipun menggunakan dasar dalil yang sama, namun produk hukum yang dihasilkan berbeda, karena perbedaan cara mengolah dan menggunakan dalil, misalnya perbedaan Ulama dalam menetapkan mana ayat yang berlaku mutlaq (absolute) dan mana yang berlaku muqayyad (telah diberikan ketentuan pengaturan), mana ayat yang bersifat umum ('aam) dan mana yang bersifat khusus (khaash), bisa pula sebab perbedaan itu adalah adanya perbedaan penilaian derajat suatu hadits di kalangan ahli hadits. Di mana seorang ahli hadits menilai suatu hadits sebagai hadits yang shahih, namun ahli hadits lainnya menilainya tidak shahih.

Perbedaan pendapat yang berlandaskan dalil bukan berarti bermain-main dengan ajaran agama, karena untuk bisa menganalisa dalil dibutuhkan perangkat keilmuan yang membuatnya mumpuni untuk menganalisa dalil dan membuat sebuah kesimpulan hukum, proses ini dalam tradisi keilmuan Islam disebut istinbath atau ijtihad, perbedaan hasil produk ijtihad selagi masih menggunakan dalil-dalil agama masih dapat dibenarkan, karena Islam tidak hanya menghargai produk ijtihad tapi juga sangat menghargai proses ijtihad, Nabi bersabda:

إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجتهد فأخطأ فله أجر واحد

Seorang hakim yang berijtihad, jika produk ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika ia berijtihad sementara produk ijtihadnya salah maka mendapatkan satu pahala(.HR Bukhori no 7352 dan Muslim no 4584 )

Ulama masa klasik telah memberikan teladan yang ramah dan bijak tentang bagaimana mengelola ikhtilaf yang ada di antara sesamanya, mereka faham bahwa tidak bijak untuk memaksa ulama lainnya agar berpendapat sesuai dengan pendapatnya, mereka tidak menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain, tidak ada caci-maki, apalagi saling ejek atau saling tuduh ahli bid'ah.Sebab masing-masing sadar bahwa argumen rivalnya pun berlandaskan pada dalil pula. Meski dirinya lebih yakin dengan kekuatan argumentasi sendiri, tapi tetap saja menaruh hormat pada pendapat orang lain. Inilah ilmu padi, semakin matang semakin merunduk, semakin tinggi ilmu mereka, semakin tawadhu' jiwa mereka.

Perilaku yang demikian ini layak kita jadikan cermin bahwa kita tidak bisa menganggap orang lain salah (dalam bidang furu) hanya lantaran mereka tidak sama pandangannya dengan apa yang kita jalani dan yakini, aturan ini ditegaskan dalam kaedah fiqih yang menyatakan:

إنما ينكر المجمع عليه ولا ينكر المختلف فيه

Pendapat yang harus diinkari adalah pendapat yang bertentangan dengan apa yang telah menjadi kesepakatan ulama, sementara keberagaman pendapat tentang hukum yang masih diperselisihkan (furu’) tidak perlu diinkari (Lihat Asybah wa Nazhoir karya Imam Suyuthi 1/158 )

Ikhtilaf adalah rahmat akan menjadi realita jika kita mematuhi etika khilaf yang telah digariskan para ulama. Dengan demikian pihak yang merayakan maulid tidak perlu memaksa apalagi menyalahkan kelompok yang kontra maulid, di lain sisi pihak-pihak yang kontra maulid pun tidak boleh membid’ahkan apalagi menganggap sesat kelompok yang merayakan maulid.

Etika khilaf jika dijalankan secara seksama akan membawa kita pada kejujuran atau amanah ilmiyah, misalnya dalam hal maulid ini; dengan menjunjung tinggi amanah ilmiah kita akan menjelaskan bahwa ada polemik dan ikhtilaf ulama dalam menyikapi maulid, ada mayoritas yang menganjurkan tradisi ini di sisi lain ada pula ulama yang menganggap tradisi sebagai bid’ah, dan bahwa masing-masing mempunyai dalil-dalilnya, setiap pilihan membawa konsekuensinya masing-masing, soal memilih mana pendapat yang lebih dekat pada kebenaran tentu kembali pada panutan pemeluk madzhab itu sendiri.

9. Agar maulid Nabi lebih khidmat, bermakna dan dapat memberikan efek positif, Ulama salaf mengingatkan beberapa etika dan adab yang hendaknya diperhatikan dalam melaksanakan maulid, diantaranya:

1) Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.

2) Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.

3) Membaca sejarah Rasulullah SAW. dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau.

4) Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.

5) Meningkatkan silaturrahim.

6) Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah SAW. di tengah-tengah kita.

7) Mengadakan pengajian atau majlis ta’lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuritauladani Rasulullah SAW.

Adapun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai sesuatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukannya perbuatanperbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai Shahibul Maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tetapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.

C. PENDAPAT ULAMA’ AL-SALAF AL-SALEH DAN KHALAF TENTANG PERINGATAN MAULID

A. PENDAPAT ULAMA AL-SALAF

1. PENDAPAT AL-IMAM HASAN AL-BASRI

Al-Imam Hasan al-Basri adalah seorang tabi`in yang lahir di kota Madinah pada dua tahun terakhir pemerintahan Khalifah `Umar bin Khattab radiyallahu`anhu suatu ketika dahulu bahkan Khalifah `Umar radiyallahu`anhu mendoakan beliau dengan doanya berikut:



"
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَحَبِّبْهُ إِلَى النَّاسِ".


Artinya:"Ya Allah jadikan dia sebagai orang yang memiliki kefahaman terhadap agama dan dicintai oleh masyarakat"

Kecerdasan dan kesalehan al-Imam Hasan al-Basri radiyallahu`anhu menarik perhatian para sahabat sehingga mereka pun memberikan tempat terhormat kepada beliau. Sayyiduna Anas bin Malik radiyallahu`anhu berkata:“Bertanyalah kepada al-Hasan, karena dia masih ingat sedangkan kami telah lupa”.


Demi melaksanakan anjuran sahabat yang selama 10 tahun menjadi pembantu Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam ini, mari kita lihat bagaimana pendapat al-Imam Hasan al-Basri radiyallahu`anhu terhadap peringatan maulid Nabi. Di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa al-Imam Hasan al-Basri radiyallahu`anhu mengatakan:


وَدِدْتُ لَوْ كَانَ لِيْ مِثْلُ جَبَلِ أُحُدٍ ذَهَبًا لأَنْفَقْتُهُ عَلَى قَرَاءَةِ مَوْلِدِ الرَّسُوْلِ".

Artinya: "Andai kata aku memiliki emas sebesar bukit Uhud, maka akan kudermakan semuanya untuk penyelenggaraan pembacaan maulid Rasul"( Lihat Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 414 cet.Th 1993.Maktabah Keluarga semarang j.3,h364 )


Ucapan al-Imam Hasan al-Basri radiyallahu`anhu di atas menunjukkan bahwa para tabi`in menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kelahiran Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam. Bagaimana tidak, beliau rela mendermakan seluruh hartanya demi menyelenggarakan pembacaan sejarah kelahiran Nabi sallallahu`alaihi wasallam. Jadi bagimana pula dengan kita?


Sudahkah kita dermakan sebagian harta kita demi memuliakan hari kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam? Jika untuk memuliakan dan mengenang hari jadi organisasi, hari jadi perusahaan, hari jadi keluarga, hari jadi anak kita, hari perkawinan, kita rela mengeluarkan jumlah harta yang banyak. Tetapi untuk mengenang kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam ada sebagian kita yang merasakan keberatan dan enggan untuk mendermakan sebagian hartanya. Semoga Allah memberi kita taufiq dan hidayah. Amiin ya Rabb.


2. PENDAPAT AL-SYEIKH MA`RUF AL-KARKHI (W. 200 H)


Al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimaullah adalah seorang ahli sufi terkemuka. Cerita tentang kesalehan beliau sangat banyak dan salah satunya adalah kekuatan prasangka baik beliau kepada sesama Muslim.Suatu hari ketika beliau sedang berpuasa sunat, al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimahullah berjalan melewati seorang yang membagi-bagikan air secara hebat. Dengan suara lantang lelaki itu berkata:“Semoga Allah merahmati orang yang mau minum air ini”.Mendengar ucapannya, al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimahullah berhenti dan meminum air tersebut. Kemudian tanya seorang lelaki kepadanya:“Bukankah engkau sedang berpuasa?”Jawab beliau: “Benar, akan tetapi aku berharap mendapatkan rahmat Allah sebagaimana doa lelaki tersebut”.
(lihat Abu al-Qasim `Abd al-Karim bin Hawazin (t.t), al-Risalah al-Qusyairiyyah, (t.tp): Dar al-Khair, h. 427-428.)


Coba anda perhatikan keluasan ilmu al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimaullah, beliau berpuasa sunat tiada lain adalah demi mendapatkan rahmat Allah ta`ala. Ketika mendengar seseorang menjanjikan rahmat Allah dengan seteguk air, maka beliau pun segera meminumnya. Beliau berbaik sangka, percaya dan yakin bahwa Allah akan mengkabulkan doa lelaki tersebut. Ini merupakan sebuah bukti kesucian hati beliau.Ucapan yang muncul daripada hati manusia yang berjiwa mulia seperti ini tentu tidak sama dengan ucapan seseorang yang belum diuji kesalehannya.


Al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi rahimaullah sangat mengambil berat mengenai majlis maulid Nabi. Salam salah satu nasihatnya, beliau mengatakan:


"
مَنْ هِيَّأَ لأَجْلِ قَرَاءَةِ مَوْلِدِ الرَّسُوْلِ طَعَامًا، وَجَمَعَ إِخْوَانًا، وَأَوْقَدَ سِرَاجًا، وَلَبِسَ جَدِيْدًا، وَتَعَطَّرَ وَتَجَمَّلَ، تَعْظِيْمًا لِمَوْلِدِهِ، حَشَرَهُ اللهُ تَعَالَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الْفِرْقَةِ الأَوْلَى مِنَ النَّبِيِّيْنَ، وَكَانَ فِيْ أَعْلَى عِلِّيِّيْنَ".



Artinya:"Barangsiapa menyediakan makanan, mengumpulkan teman-teman, menyiapkan lampu, memakai pakaian baru, memakai wangian dan menghias dirinya untk membaca dan mengagungkan maulid Rasul, maka kelak di hari kiamat Allah akan mengumpulkannya bersama para Nabi, orang-orang yang berada di dalam barisan pertama. Dan dia akan ditempatkan di `Illiyyin yang tertinggi"
(lihat Lihat Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 414 cet.Th 1993.Maktabah Keluarga semarang j.3,h364 )


Coba anda perhatikan, kenyataan al-Syeikh Ma`ruf al-Karkhi di atas telah disampaikan lebih 1200 tahun yang lalu. Disebabkan itu, sungguh pelik jika dikatakan para ulama’ al-Salaf al-Saleh tidak menyuruh seseorang itu untuk memuliakan dan menyambut maulid nabi sallallahu`alaihi wasallam. Bentuk peringatan mereka mungkin agak berbeda dengan peringatan kita dewasa ini, akan tetapi isinya tetap sama yaitu memuliakan kelahiran Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam.


3. PENDAPAT AL-SYEIKH SIRRI AL-SAQATHI (W. 253 H)


Al-Syeikh Sirri al-Saqathi adalah guru dari al-Syeikh al-Imam al-Junaid al-Baghdadi. Di samping itu, beliau juga merupakan murid Ma`ruf al-Karkhi rahimahullah. Kesalehan dan kegigihan al-Syeikh Sirri al-Saqathi rahimahullah dalam beribadah tidak dinafikan lagi. Al-Syeikh al-Imam al-Junaid rahimaullah berkata:

“Aku tidak melihat seseorang yang lebih hebat ibadahnya daripada Sirri, selama 98 tahun beliau tidak pernah berbaring kecuali pada saat sakit menjelang wafatnya”.(lihat Abu al-Qasim `Abd al-Karim bin Hawazin (t.t), al-Risalah al-Qusyairiyyah, (t.tp): Dar al-Khair, h. 417-418.)


Artinya, al-Syeikh Sirri al-Saqathi rahimahullah senantiasa beribadah kepada Allah ta`ala, siang maupun malam. Jika harus tidur, itupun beliau lakukan dalam keadaan duduk, sehingga wudhu’nya tidak terbatal.Sebagaimana guru, al-Syeikh Sirri al-Sqathi rahimahullah memiliki perhatian yang sangat besar terhadap peringatan maulid Nabi. Beliau mengatakan:



"
مَنْ قَصَدَ مَوْضِعًا يُقْرَأُ فِيْهِ مَوْلِدُ النَّبِيِّ فَقَدْ قَصَدَ رَوْضَةً مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ لأَنَّهُ مَا قَصَدَ ذَلِكَ الْمَوْضِعَ إِلا لِمَحَبَّةِ الرَّسُوْلِ. وَقَدْ قَالَ عَلَيْهِ السَّلامُ: مَنْ أَحَبَّنِيْ كَانَ مَعِيْ فِي الْجَنَّةِ".


Artinya:"Barangsiapa pergi ke sebuah tempat di mana di sana dibacakan maulid Nabi, maka dia telah berada di sebuah syurga, karena tujuannya pergi ke tempat itu tidak lain adalah untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam, sedangkan Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam telah bersabda: Barangsiapa mencintaiku, maka dia bersamaku di syurga"
(Lihat Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 414 cet.Th 1993.Maktabah Keluarga semarang j.3,h,364 )


Coba kita perhatikan dengan teliti, beliau menyatakan bahwa seseorang yang duduk di tempat pembacaan maulid Nabi demi cintanya kepada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bererti dia sedang duduk di taman Syurga. Kenyataan al-Syeikh Sirri al-Saqathi di atas diucapkan selepas beliau mendalami al-Quran dan al-Hadith serta mengamalkannya. Sekarang terpulang kepada anda, sama ada mau mengikut pendapat ulama’ yang kami kemukakan atau mau mengikut pandagan golongan-golongan yang yang mengharamkan dan membid`ahkan maulid dan kesalehan mereka juga belum diuji.


4. PENDAPAT AL-SYEIKH AL-JUNAID AL-BAGHDADI (W. 297 H)


Al-Imam al-Junaid rahimahullah, dikenali sebagai pemimpin para sufi. Semenjak kecil tanda-tanda kesalehan beliau telah tampak pada diri beliau. Beliau tekun belajar dan beribadah hingga dalam usia yang masih sangat muda iaitu 20 tahun, beliau telah mendapat kepercayaan untuk menjadi mufti pada usia yang begitu muda. Setiap hari, al-Imam al-Junaid berniaga di kedainya. Di sana, beliau bukan hanya berniaga bahkan beberapa riwayat mengatakan bahwa setiap kali al-Syeikh al-Junaid memasuki kedainya, maka dia mengerjakan solat sunat sebanyak 400 rakaat.Sebagaimana pendahulunya, al-Imam Junaid al-Bagdhdadi rahimahullah sangat memuliakan maulid Nabi. Beliau mengatakan:


مَنْ حَضَرَ مَوْلِدَ الرَّسُوْلِ وَعَظَّمَ قَدْرَهُ فَقَدْ فَازَ بِالإِيْمَانِ".

Artinya:"Barangsiapa menghadiri maulid Rasul dan mengagungkan (memuliakan) kedudukannya, maka dia telah Berjaya dengan keimanan" (Lihat Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 414 cet.Th 1993.Maktabah Keluarga semarang j.3,h364 )


Coba anda perhatikan, al-Syeikh al-Junaid al-Baghdadi menjadikan semangat untuk memuliakan maulid nabi sebagai kayu ukur iman.seseorang yang sempurna imannya akan menghadiri, memuliakan dan mengagungkan peringatan maulid nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam

B. PENDAPAT ULAMA’ KHALAF

1. PENDAPAT AL-SYEIKH `ABDULLAH AS`AD AL-YAFI`I

Al-Syeikh `Abdullah bin As`ad al-Yafi`i rahimahullah merupakan seorang ulama’ terkemuka dalam dunia Islam. Karya beliau sangat banyak, salah satunya adalah Raudh al-Rayyahin. Sebagai seorang yang pakar mengenai sejarah Islam, beliau sangat meneliti sejarah kehidupan baginda Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam. Oleh itu, kerana menjawab persoalan maulid, beliau berkata:

مَنْ جَمَعَ لِمَوْلِدِ النَّبِيِّ إِخْوَانًا وَهِيَّأَ طَعَامًا وَأَخْلَى مَكَانًا وَعَمِلَ إِحْسَانًا وَصَارَ سَبَبًا لِقِرَاءَةِ مَوْلِدِ الرَّسُوْلِ بَعَثَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ الصِّدِيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَيَكُوْنُ فِيْ جَنَّاتِ النَّعِيْمِ".

Maksudnya: "Barangsiapa mengumpulkan teman-temannya, mempersiapkan hidangan, menyediakan tempat, melakukan kebaikan untuk maulid Nabi dan semua itu menjadi sebab pembacaan maulid Rasul, maka di hari kiamat kelak Allah akan membangkitkannya bersama orang-orang yang siddiq, para syuhada dan kaum solihin. Dan kelaik ia akan berada di syurga-syurga yang penuh kenikmatan".

Wahai saudaraku, cuba anda perhatikan kenyataan beliau rahimahullah di atas. Sebagai orang yang merindukan syurga, apakah kita tidak ingin memakmurkan dan membuat majlis maulid Nabi?

2. PENDAPAT AL-HAFIZ ABU BAKAR BIN `ABD AL-RAHMAN AL-SUYUTHI (W. 911 H)

Al-Imam al-Suyuthi merupakan salah seorang ulama besar yang lahir pada bulan Rejab 849 Hijrah. Keluasan ilmu beliau telah terbukti dengan berbagai karya karangan beliau lebih daripada 400 buah kitab. Di samping itu, beliau menghafal al-Quran, beliau juga menghafal beberapa kitab besar seperti al-Minhaj karangan al-Imam Nawawi dan juga al-`Umdah. Beliau juga disebut-sebut sebagai mujaddid iaitu pembaharuan pada abad ke-9 hijrah. (Lihat Faruq Hamadah (t.t.), Dalil al-Raghibin Ila Riyad al-Salihin, (t.tp): Dar al-Thaqafah, cet 1, h. 10-12)

Dalam himpunan fatwanya, al-Jafiz al-Suyuthi menulis satu bab khusus yang menjelaskan keutamaan peringatan maulid nabi. Di bawah ini kami nukilkan dua kenyataan beliau, insya Allah akan membangkitkan semangat kita untuk memuliakan hari kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Beliau ditanya mengenai hukum menyambut maulid, maka beliau berkata:

عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ".

Maksudnya:"Menurutku, isi peringatan daripada peringatan Maulid Nabi adalah berkumpulnya masyarakat, pembacaan sebahagian ayat al-Quran, pembacaan riwayat yang menjelaskan awal perjuangan Nabi sallallahu`alaihi wasallam dan berbagai peristiwa besar yang terjadi saat kelahiran baginda, penyajian maknana kepada hadirin dan mereka pun menyantap dan kemudian pergi tanpa melakukan perbuatan lain. Perbuatan seperti ini merupakan sebuah bid`ah hasanah yang pelakunya akan mendapat pahala. Sebab, di dalam peringatan maulid itu terdapat perbuatan permuliaan Nabi dan mewujudkan rasa senang dan bahagia atas kelahiran baginda sallallahu`alaihi wasallam yang mulia".( lihat `Abd al-Rahman bin Abu Bakar al-Suyuthi (t.t), al-Hawi Li al-Fatawi, (t.tp): Dar al-Fikir, j. 1, h. 221-222 )

Di dalam kesempatan yang lain, beliau juga mengatakan:

وَمَا مِنْ مُسْلِمٍ قُرِىءَ فِيْ بَيْتِهِ مَوْلِدُ النَّبِيِّ إِلا رَفَعَ اللهُ تَعَالَى الْقَحْطَ وَالْوَبَاءَ وَالْحَرْقَ. وَالآفَاتِ وَالْبَلِيَّاتِ وَالنَّكَبَاتِ وَالْبَغْضَ وَالْحَسَدَ وَعَيْنَ السُّوْءِ وَاللُّصُوْصَ عَنْ أَهْلِ ذَلِكَ الْبَيْتِ، فَإِذَا مَاتَ هَوَّنَ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ جَوَابَ مُنْكَرَ وَنَكِيْرَ، وَكَانَ فِيْ مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيْكٍ مُقْتَدِرٍ".

Maksudnya:"Tidaklah sebuah rumah Muslim dibacakan maulid nabi padanya melainkan Allah singkirkan kelaparan, wabak penyakit, kebakaran, berbagai jenis bencana, kebencian, kedengkian,pandangan buruk, serta pencurian daripada penghuni rumah itu dan jika ia meninggal dunia, maka Allah memberinya kemudahan untuk menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Dan dia kelak akan berada di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa".( Lihat Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 415 cet.Th 1993.Maktabah Keluarga semarang j.3,h.365)

3. PENDAPAT AL-SYEIKH AL-ISLAM AL-KHATIMAH AL-HUFFAZH AMIR AL-MU’MININ FI AL-HADITH, AL-IMAM AHMAD IBN HAJAR AL-`ASQALANI (W. 852 H).

Al-Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadith al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani. Beliau menyatakan seperti berikut:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً". وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ".

Maksudnya:“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukikan daripada (ulama’) al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik sahaja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan:“Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang thabit (Sahih)”.

4. PENDAPAT AL-IMAM AL-HAFIZH AL-SAKHAWI

Al-Imam al-Hafizh al-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut:

لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ "بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ".


Maksudnya:“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian al-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling sahih adalah malam Isnin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh kerananya tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya” .

5. PENDAPAT AL-SYEIKH AL-SAYYID AHMAD ZAINI DAHLAN (W. 1304 H)

Telah berkata al-Syeikh al-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (W. 1304 H) di dalam kitabnya Sirah al-Nabi, merupakan Mufti Besar Mazhab Syafi`e di Makkah:

جَرُتِ الْعَادَةُ أَنَّ النَّاسَ إِذَا سَمِعُوْا ذِكْرَ وَضْعِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا الْقِيَامُ مُسْتَحَبُّ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ كَثِيْرُ مِنْ عُلَمَاءِ الأُمَّةِ الَّذِيْنَ يُفْدَى بِهِمْ".


Maksudnya:"Telah berlaku kebiasaan, bahawa orang apabila mendengar kisah Nabi dilahirkan, maka ketika Nabi lahir itu mereka berdiri bersam-sama untuk menghormat dan membesarkan Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam. Berdiri ini adalah suatu perbuatan yang baik kerana dasarnya ialah membesarkan Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam dan sesungguhnya telah mengerjakan perbuatan seperti itu dikalangan daripada ulama’-ulama’ ikutan ummat".
(Lihat Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 414 cet.Th 1993.Maktabah Keluarga semarang j.3,h363 )

Al-Syeikh al-Sayyid Zaini Dahlan berpendapat bahawa mengadakan maulid Nabi dengan membaca kisah-kisah baginda dan berdiri ketika sampai pembacaan pada lahirnya Nabi adalah suatu perbuatan yang baik.

Sayyid Zaini Dahlan merupakan Mufti Besar Mazhab Syafi`e di Makkah (W. 1304 H), di antara kitab karangan beliau adalah:

1. Al-Futuh al-Islamiyyah.

2. Tarikh Daulah al-Islamiyyah.

3. Al-Durar al-Saniyyah Fi al-Radd `ala al-Wahhabiyyah.


6. PENDAPAT AL-SYEIKH AL-HALABI


Telah berkata al-Syeikh al-Halabi mengenai maulid di dalam kitab Sirahnya:


قَالَ الْحَلَبِيُّ فِي السِّيْرَةِ فَقَدْ حَكَى بَعْضُهُمْ أَنَّ الإِمَامَ السُّبْكِيَّ اجْتَمَعَ عِنْدَهُ مِنْ عُلَمَاءِ عَصْرِهِ فَأَنْشَدَ مُنْشِدُهُ قَوْلَ الصَّرْصَرِيِّ فِيْ مَدْحِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعِنْدَ ذَلِكَ قَامَ الإِمَامُ السُّبْكِيُّ وَجَمِيْعُ مَنْ بِالْمَجْلِسِ



Maksudnya:"Berkata al-Halabi di dalam kitab Sirah: Telah dikhabarkan bahawa di hadapan al-Imam al-Subki pada suatu kali ketika berkumpul ramai ulama’-ulama’ pada zaman itu. Kemudian salah seorang daripada mereka membaca perkataan Sarsari dalam memuji Nabi. Pada ketika itu al-Imam al-Subki dan sekalian ulama’ yang hadir berdiri bagi menghormati Nabi".
(Lihat Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 414 cet.Th 1993.Maktabah Keluarga semarang j.3,h.363 )

Al-Imam Taqiyyuddin al-Subki rahimahullah adalah asalah seorang ulama’ besar dalam mazhab Syafi`e, beliau adalah pengarang kitab “Takmilah al-Majmu`” iaitu sambungan daripada kitab “al-Majmu` Syar al-Muhazzab” karangan al-Imam al-Nawawi. Anak beliau juga merupakan seorang ulama’ besar iaitu Tajuddin al-Subki (W. 657 H) pengarang kitab “Jam`u al-Jawami`”, kitab usul fiqh besar yang telah diguna pakai oleh dunia Islam di dalam mempelajari usul fiqh.Beliau juga berpendapat "Bahawa berdiri ketika mendengar kisah Nabi dilahirkan adalah suatu pekerjaan yang baik demi menghormati Nabi.


7. ` PENDAPAT AL-IMAM ABU SYAMAH


Telah berkata al-Imam Abu Syamah mengenai maulid Nabi:


وَمِنْ اَحْسَنِ مَا ابْتُدِعَ فِيْ زَمَنِنَا مَا يُفْعَلُ كُلُّ عَامٍ فِي الْيَوْمِ الْمُوَافِقِ لِيَوْمِ مَوْلِدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَالْمَعْرُوْفِ وَإِظْهَارِ الزِّيْنَةِ وَالسُّرُوْرِ فَإِنَّ ذَلِكَ مَعَ مَا فِيْهِ مِنَ الإِحْسَانِ لِلْفُقَرَاءِ مُشْعِرٌ بِمَحَبَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعْظِيْمِهِ فِيْ قَلْبِ فَاعِلِ ذَلِكَ وَبِشُكْرِ اللهِ تَعَالَى عَلَى مَا مَامَنَّ بِهِ مِنْ إِيْجَادِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الَّذِيْ أَرْسَلَهُ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْن".


Maksudnya:"Suatu hal yang baik ialah apa yang dibuat tiap-tiap tahun, bersetuju dengan hari maulid Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam, memberi sedekah, membuat kebajikan, melahirkan kegembiraan dan kesenangan, maka hal itu selain berbuat baik bagi fakir miskin, juga mengingatkan kita untuk mengasihi junjungan kita Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam, membesarkan baginda dan bersyukur kepada Tuhan atas kurniaan-Nya yang telah mengirim Rasul bagi kebahagiaan seluruh makhluk".
(Lihat Abu Bakar bin Muhammad Satha al-Dimyathi (t.t.), I`anah al-Thalibin, (t.t.p): Dar al-Fikir, j. 3, h. 414 cet.Th 1993.Maktabah Keluarga semarang j.3,h364 )

Al-Imam Abu Syamah adalah seorang ulama’ besar dalam mazhab Syafi`e. Beliau hidup pada abad ke-VII Hijrah dan beliau adalah guru dari al-Imam al-Nawawi.Beliau berpendapat bahawa:


1. Merayakan maulid Nabi dengan suatu perayaan dengan perbanyak sedekah dan bakti pada hari maulid dan melahirkan kegembiraan atas maulid Nabi adalah suatu “bid`ah hasanah/baik” iaitu sesiapa yang mengerjakannya akan mendapat pahala.


2. Mengadakan perayaan maulid Nabi adalah manifestasi daripada kecintaan kita kepada Nabi kita Muhammad sallallahu`alaihi wasallam.


Daripada pendapat ulama’-ulama’ Ahlussunnah Waljama`ah, dapatlah suatu keterangan yang jelas kepada kita semua iaitu bid`ah terbahagi kepada dua bahagian:

1. Bid`ah Hasanah iaitu suatu perkara yang dilakukan dan ia belum pernah dilakukan oleh Nabi di zamannya tetapi ia adalah perbuatan baik, berfaedah, untuk umum dan berfaedah kepada masyarakat.Seperti pembinaan sekolah agama, mengarang buku-buku agama, mengumpulkan al-Quran dalam satu mushaf, membina Universiti-universiti Islam, mengarang kitab-kitab hadith, semuanya belum ada pada zaman Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tetapi perbuatan tersebut baik pada agama dan untuk masyarakat.


Perayaan maulid Nabi memang tidak di zaman anabi tetapi ia sangat baik untuk disambut kerana ia dapat membangkitkan rasa cinta kepada Nabi, mengasihi Nabi, mengenang perjuangan Nabi, mencontohi akhlak Nabi dan sebagainya. Maka hal itu adalah bid`ah hasanah iaitu bid`ah yang baik dan sesiapa mengerjakannya akan mendapat pahala.

2. Bid`ah Sayyi`ah, iaitu bid`ah yang buruk dan keji dan barangsiapa melakukannya akan mendapat dosa seperti sembahyang dalam bahasa melayu, azan dalam bahasa melayu dan sebagainya.

Wahai Saudaraku…!Jika kita membaca pendapat-pendapat para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang jernih,kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap "sinis" yang timbul dari sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu belaka.Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan fatwa- fatwa para ulama saleh terdahulu.Di antara pernyataan mereka yang sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali berkata:


ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺬَّﺑِﻴْﺤَﺔَ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﺗُﺬْﺑَﺢُ ﻹِﻃْﻌَﺎﻡِ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟِﺪِ ﺃَﺣْﺮَﻡُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨِﻨْﺰِﻳْﺮِ.


"Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembeli untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi ". Orang-orang anti maulid ini
menganggap bahwa perbuatan bid 'ah semcam Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian, -menurut mereka-, lebih besar dosanya dari pada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandung unsur syirik.

Jawab:
Na'udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam ini. Bagaimana ia berani dan tidak punya rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, -yang telah disetujui oleh para ulama dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ahli hadits dan lainnya-,dengan perkataan seburuk seperti ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri.
Apakah dia merasa telah menjadi seperti al-Hafizh Ibn Hajar al- 'Asqalani, al-Hafzih as-Suyuthi atau al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari
mereka?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukum haramnya di dalam al- Qur'an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash syari 'at?! Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak
mengetahui Maratib al-Ahkam;tingkatan-tingkatan hukum.Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang haram dengan istinbath. Tentunya orang-orang "tolol" semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan ajaran agama Allah ini.

Kesimpulannya, saudara-saudaraku boleh melihat kenyataan-kenyataan ulama’-ulama’ Islam generasi Tabi`in sehinggalah ulama’ mutaakhirin seperti di atas dan masih banyak lagi yang kami tidak sempat untuk menukilkan, hanya sekadar ini sahaja daripada kami. Semua ulama’-ulama’ generasi tabi`in dan mutaakhirin setuju dan menggalakkan pembacaan maulid Nabi yang merupakan salah satu bentuk peringatan Maulid Nabi. Kepada saudara-saudarku sekalian, sebenarnya pendapat mereka sudah cukup kuat untuk dijadikan dalil bagi kita untk mencontohi dan meneladani mereka, akan tetapi demi memuaskan dahaga para penuntut ilmu, marilah kita sama-sama pelajarinya dengan baik sumber-sumber hukum peringatan maulid Nabi tersebut secara lebih terperinci agar ia menjadi benteng AHLUSSUNNAH WALJAMA`AH di generasi kita dan generasi yang akan datang.Semoga Allah membukakan pintu hati kita untuk menerima kebenaran sebagai sebuah kebenaran dan kemudian bersedia mengikutinya dengan senang hati. Amiin Ya Rabb.

D. KITAB-KITAB MAULID

Sebagian besar masyarakat Indonesia merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Diba’i, Simtu Duror dan lain-lainnya atau dalam istilah orang Betawi dikenal dengan baca Rawi. Sesi pembacaan Barzanji, Diba’i atau Simtu Duror adalah sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, baik dalam perayaan maulid yang besar atau yang kecil. Di tengah pembacaan Barzanji, Diba’i atau simtu duror ini, ada suatu paragraf bacaan yang dikenal dengan mahallul qiyam. Dimana ketika ini dibaca, hadirin semua berdiri sambil bershalawat kepada Rasulullah S.A.W. untuk menghormatinya karena saat itu dipercaya bahwa ruh Rasulullah S.A.W. ikut hadir. Alangkah baiknya kalau kita mengenal isi kitab-kitab tersebut dan biografi para pengarangnya.

1. Maulid Ad-Diba`i

Kitab Maulid yang dikenal dan popular dengan nama "Mawlid Ad-Diba`i" ini adalah di antara kitab Maulid yang paling tua, hampir mencapai usia 500 tahun. Sepanjang masa tersebut, kitab Maulid Diba’i telah tersebar ke seluruh pelusuk dunia Islam. Dibaca, dihayati, diwirid oleh jutaan umat, yang awam maupun yang alim antara mereka. Kitab Maulid ini adalah karya seorang ulama besar dan seorang ahli hadits, Imam Wajihuddin 'Abdur Rahman bin Muhammad bin 'Umar bin 'Ali bin Yusuf bin Ahmad bin 'Umar ad-Diba`ie Asy-Syaibani Al-Yamani Az-Zabidi Asy-Syafi`i RahimahumUllah. Imam ad-Diba`i dilahirkan di kota Zabid pada hari Kamis sore 4 Muharram 866 H dan wafat hari Jumat pagi 12 Rajab tahun 944H . Beliau adalah seorang ulama hadits yang terkenal dan tidak ada bandingannya pada masa hidupnya. Beliau mengajar kitab Shohih Al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau mencapai derajat Hafidz dalam ilmu hadits yaitu seorang yang menghafal 100.000 hadits dengan sanadnya. Setiap hari beliau mengajar hadits dari masjid ke masjid. Di antara guru-gurunya ialah Imam al-Hafiz As-Sakhawi, Imam Ibnu Ziyad, Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Imam al-Hafiz Tahir bin Husain al-Ahdal dan banyak lagi. Selain itu, beliau juga seorang muarrikh, yakni seorang ahli sejarah.

Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya yang bernama Syekh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ulama besar yang tersohor di kota Zabid saat itu, hal itu dikarenakan sewaktu beliau lahir, ayahnya sedang bepergian, setelah beberapa tahun kemudian baru terdengar kabar bahwa ayahnya meninggal di daratan India. Dengan bimbingan sang kakek dan para ulama kota Zabid ad-Diba'i tumbuh dewasa serta dibekali berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Diantara ilmu yang dipelajari beliau adalah: ilmu Qiroat dengan mengaji Nadzom (bait) Syatibiyah dan juga mempelajari Ilmu Bahasa (gramatika), Matematika, Faroidl, Fikih.Pada tahun 885 H. beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Sepulang dari Makkah Ibn Diba` kembali lagi ke Zabid. Beliau mengkaji ilmu Hadis dengan membaca Shohih Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Al-Muwattho` di bawah bimbingan syekh Zainuddin Ahmad bin Ahmad As-Syarjiy. Di tengah-tengah sibuknya belajar hadits, Ibn Diba' menyempatkan diri untuk mengarang kitab Ghoyatul Mathlub yang membahas tentang kiat-kiat bagi umat muslim agar mendapat ampunan dari Allah SWT.

Ungkapan pengarang dalam Kitab maulid sangatlah indah dalam mengekspresikan kecintaannya terhadap Nabi dan menerangkan kelahirannya. Dengan menggunakan ungkapan metafora yang menawan diperkaya dengan imajinasi puitis sehingga kita yang membaca merasa tersentuh dengan gubahan syairnya. Misalnya dalam mahal qiyam :

يا نبي سلام علــــيك

يارسول سلام عليــك

يا حبيب سلام عليـك

صلوات الله عليـــــك

أشرق البدر علينا ...واختفت منه البــدور

مثل حسنك ما رأينا ..أنت يا وجه السرور

أشرق البدر علينا ..واختفت منه البـــدور

أنت شمسٌ ..أنت بدرٌ ..أنت نورٌ فوق نور

Wahai Nabi, semoga keselamatan tetap untukmu,Wahai Rasul, semoga keselamatan tetap untukmu

Wahai kekasih, semoga keselamatan tetap untukmu. Juga rahmat Allah semoga tetap tercurah untukmu

Telah terbit bulan purnama menyinari kami. Maka suramlah karenanya purnama-purnama lain.

Tiadalah pernah kami melihat perumpamaan kebagusanmu. Hanyalah engkau saja, wahai wajah yang berseri-seri.

engkaulah matahari, engkaulah purnama. Engkaulah cahaya di atas segala cahaya.

Karya ad-diba'i

Ibn Diba` termasuk ulama yang produktif dalam menulis. Hal ini terbukti beliau mempunyai banyak karangan baik dibidang hadits ataupun sejarah. Karyanya yang paling dikenal adalah syair-syair sanjungan (madah) atas Nabi Muhammad SAW. yang terkenal dengan sebutan Maulid Diba`i.

Di antara kitab karangannya ialah:

"Taisirul Wusul ila Jaami`il Usul min Haditsir Rasul" yang mengandung himpunan hadits yang dinukil dari kutub sittah. 2 "Tamyeezu at-Thoyyib min al-Khabith mimma yaduru 'ala alsinatin naasi minal hadits" sebuah kitab yang membedakan hadits sahih dari selainnya seperti dhaif dan maudhu. 3. "Qurratul 'Uyun fi akhbaril Yaman al-Maimun". yang membahas tentang seputar Yaman. 4."Bughyatul Mustafid fi akhbar madinat Zabid".5. "Fadhail Ahl al-Yaman".

2. Maulid Barzanji

Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Sayyid Ja’far Al Barzanji. Kitab ini sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji adalah nama sebuah daerah di Kurdistan, Barzanj. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 (1711 M di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, ba’da Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Baqi.Garis keturunannya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali R.A.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.

Kitab Al-Barzanji yang terkenal di berbagai pelosok dunia ini adalah sebuah ringkasan dari siroh Nabi yang dilukiskan dengan dua gaya bahasa yang indah dan menawan dalam bentuk nazom (puisi) dan natsar (prosa) Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair.

Tentang isi

Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) keturunan Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.

Dalam Barzanji sering mengulang kalimat untuk memisah antar Bab :

عطر اللهم قبره الكريم ، بعرف شذي من صلاة وتسليم اللهم صلي وسلم وبارك عليه


Yang artinya : “Ya Allah, Harumkanlah kuburnya yang mulia dengan wangi wangian yang semerbak dari rahmat dan kesalamatan”.

Salah satu syair yang sangat menawan dari gubahan dalam kitab Barzanji :

ومحيا كالشمس منك مضيء أسفر عنه ليلة غــراء

ليلة المـولد الذي كــان للديـ ن سرور بيومه وازدهاء

يوم نالت بوضعه ابنه وهب من فخار ما لم تنله النساء

وأتت قومهــا بأفضــل مما حملت قبل مريم العـذراء

مولد كان منه في طالع الكـ فــر وبـال عليـهم ووبــاء

وتوالت بشري الهواتفث أن قد ولد المصطفي وحق الهناء

Yang artinya :

Cahaya yang seperti matahari bersihnya Menerangi malam dengan amat terangnya

Malam yang dilahirkan Nabi kita didalamnya Yang membawa agama yang nyata benarnya.

Maka karena itu dapatlah Siti Aminah ibunya kemegahan yang wanita lain tidak mendapatinya;

la membawa seorang putera untuk manusia sekalian Putera yang lebih mulia dari anak Mariam yang dara.

Kelahiran Nabi kita pada pandangan kafir umumnya ialah suatu kedukaan yang terasa sangat berat.

Maka bertalu-talulah suara bersorak dengan riuhnya “Telah zahir Nabi pilihan; inilah kegembiraan yang sebenarnya.”

Diceritakan juga dalam Barzanji menceritakan kelahiran nabi bahwa kelahiran kekasih Allah ini dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit dalam riwayat yang lain dikisahkan dilahirkan langsung bersujud, dilahirkan dengan sangat bersih keadaannya, serta ia telah berkhitan dan telah terpotong pusatnya dari dalam perut ibunya. Dan harum bau tubuhnya, serta berminyak rambutnya, serta tercelak kedua matanya, adalah dengan kudrat dan kehendak Allah sebagai menandakan kemuliaannya dan ketinggiannya, serta kelebihan-kelebihannya yang melebihi makhluk lain semuanya. Dan juga yang demikian itu adalah menunjukkan bahwa ia kekasih Allah yang dijadikan sangat indah perangainya dan bentuk rupanya. Pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisra terguncang, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.

Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.

Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan nama Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H kemudian oleh Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari wafat pada tahun 1299 H / 1882M.

Sayyidul Ulamail Hijaz, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi juga menulis syarah dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanji tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’.

3. Simtu duror

“Simthud-Durar fi Akhbar Mawlid Khairil Basyar min Akhlaqi wa Awshaafi wa Siyar” atau singkatannya “Simthud-Durar” adalah karangan maulid yang disusun oleh Habib Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi (1259 – 1333H / 1839 – 1913M). Maulid yang juga terkenal dengan nama “Maulid Habsyi” ini telah didiktekan oleh Habib Ali tatkala beliau berusia 68 tahun dalam beberapa majlis yang dimulai pada hari Kamis 26 Shafar 1327 dan disempurnakan 10 Rabi`ul Awwal pada tahun tersebut dan dibacakan secara resminya di rumah murid beliau Habib ‘Umar bin Hamid as-Saqqaf pada malam Sabtu tanggal 12 Rabi`ul Awwal.

Habib Thoha bin Hasan bin Abdur Rahman as-Saqqaf dalam“Fuyudhotul Bahril Maliy” menukil kata-kata Habib ‘Ali berhubung karangannya tersebut seperti berikut:

”Jika seseorang menjadikan kitab mawlidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka sir Junjungan al-Habib SAW. akan nampak pada dirinya. Aku mengarangnya dan mengimla`kannya, namun setiap kali kitab itu dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Junjungan Nabi SAW…..”

Biografi pengarang

Al-Habib Al-Imam Al-Allamah Ali bin Muhammad bin Husin Al-Habsyi dilahirkan pada hari Juma’at 24 Syawal 1259 H di Qasam, sebuah kota di negeri Hadhramaut.

Beliau dibesarkan di bawah asuhan dan pengawasan kedua orang tuanya; ayahandanya, Al-Imam Al-Arif Billah Muhammad bin Husin bin Abdullah Al-Habsyi dan ibundanya; As-Syarifah Alawiyyah binti Husain bin Ahmad Al-Hadi Al-Jufri, yang pada masa itu terkenal sebagai seorang wanita yang solihah yang amat bijaksana.

Pada usia yang amat muda, Habib Ali Al-Habsyi telah mempelajari dan mengkhatamkan Al-Quran dan berhasil menguasai ilmu-ilmu zahir dan batin sebelum mencapai usia yang biasanya diperlukan untuk itu. Oleh karenanya, sejak itu beliau diizinkan oleh para guru dan pendidiknya untuk memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian di hadapan khalayak ramai, sehingga dengan cepat sekali, dia menjadi pusat perhatian dan kekaguman serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya diserahkan tampuk kepimpinan tiap majlis ilmu, lembaga pendidikan serta pertemuan-pertemuan besar yang diadakan pada masa itu.Selanjutnya, beliau melaksanakan amanah yang dipercayakan padanya dengan sebaik-baiknya. Menghidupkan ilmu pengetahuan agama yang sebelumnya banyak dilupakan.Mengumpulkan, mengarahkan dan mendidik para siswa agar menuntut ilmu.Di bawah pendidikan beliau kita bisa menyaksikan banyak sekali di antara muridnya yang berhasil kemudian meneruskan serta menyiarkan ilmu yang telah mereka peroleh, bukan saja di daerah Hadhramaut, tetapi tersebar luas di beberapa negeri lainnya - di Afrika dan Asia, termasuk di Indonesia. Beliau meninggal dunia di kota Seiwun, Hadhramaut, pada hari Ahad 20 Rabi’ul Akhir 1333 H.

Salah satu contoh gubahan al Habib dalam Simtu Duror:

اشرق الكون ابتهاجا بوجود المصطفى احمد و لأهل الكون انس وسرور قد تجدد

فاطربوا يا اهل المثاني فهزار اليمن غرد واستضيئوا بجمال فاق في الحسن تفرد

و لنا البشرى بسعد مستمر ليس ينفد حيث اوتينا عطاء جمع الفخر المؤبد

فلربي كل حمد جل ان يحصره العد اذ حبانا بوجود المصطفى الهادي محمد

يا رسول الله اهلا بك انا بك نسعد و بجاهه يا الهي جد و بلغ كل مقصد

و اهدنا نهج سبيله كي به نسعد و نرشد رب بلغنا بجاهه في جواره خير مقعد

و صلاة الله تغشى اشرف الرسل محمد و سلام مستمر كل حين يتجدد

“Alam bersinar cemerlang bersukaria Demi menyambut kelahiran Ahmad al-Musthofa Penghuni alam bersukacita dengan kegembiraan yang berterusan selamanya.

Wahai pengikut Al-Quran, hendaklah kamu bergembira. Burung-burung turut berkicauan tanda suka. Keindahan Baginda menerangi segalanya Mengatasi segala keindahan tanpa ada bandingannya.

Dan wajib kita untuk bergembira atas bahagia yang berkesinambungan selama-lama. Tatkala kita menerima anugerah-Nya. Anugerah yang menghimpun kebanggaan sepanjang masa.

Maka bagi Tuhanku segala puji dan puja. Pujian yang tiada terkira
Atas anugerah-Nya dengan wujudnya Baginda. Kelahiran Junjungan Muhammad al-Hadi al-Musthofa.

Ya Rasulullah, selamat datang ahlan wa sahlan Sungguh denganmu kami beroleh kebahagiaan Wahai Tuhanku, demi jah Nabi Junjungan Kurniakanlah dan sampaikan segala maksud dan tujuan.

Dan hidayahkanlah kami atas jalan Nabi Junjungan Agar dengannya kami beroleh kebahagiaan dan pimpinan Wahai Tuhan, sampaikanlah kami demi jah Nabi Junjungan. Di sisi baginda duduk berdampingan.

Sholawat Allah dilimpahkan Atas semulia-mulia Rasul Nabi Junjungan
Beserta salam yang berkekalan Sepanjang masa berubah zaman”.

Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya kitab maulid adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan.

Pada perkembangan berikutnya, pembacaan maulid membentuk sebuah tradisi misalnya membaca maulid yang disebut biasanya dalam tradisi Betawi membaca rawi dilakukan di berbagai kesempatan acara atau walimah sebagai sebuah pengharapan dan doa tabarruk pada Nabi Muhammad SAW. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada di sana dan acara-acara lainnya.

Caranya biasanya di masjid-masjid atau majlis ta’lim atau di rumah-rumah, orang-orang duduk bersimpuh melingkar. Lalu seseorang membacakan maulid yang pada bagian tertentu disahuti oleh jemaah lainnya secara bersamaan. Pada pembacaan rawi dalam walimah aqiqah misalnya dilakukan bersamaan dengan "diestafetkannya" bayi yang baru dicukur selama satu putaran dalam lingkaran. Sementara baju atau kain orang-orang yang sudah memegang bayi tersebut, kemudian disemprot atau diberi setetes dua tetes minyak wangi.

Di samping itu pembacaan maulid juga mengembangkan kesenian islam sebuah akulturasi budaya Arab dan budaya Indonesia misalnya muncul kesenian hadrah banjari, marawis, qosidahan, gambus, zapin.


G. MENCINTAI NABI SAW

Setiap Muslim jika ditanya: cintakah mereka kepada sang Nabi? Bisa dipastikan semua jawabannya sama. Lain halnya jika bentuk pertanyaannya berbeda, semisal apakah hukumnya mencintai Nabi? Untuk dapat menjawab pertanyaan hukum mencintai Nabi paling tidak kita harus tahu dulu dalil-dalil baik berupa ayat atau hadits yang menekankan urgensitas cinta pada sang Nabi, dan kita pun akan dapat menemukan banyak sekali ayat ataupun hadits yang menerangkan tentang hal ini, diantaranya :

1. Firman Allah dalam Surah Taubah ayat 24 :

قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik”.

2. Firman Allah Dalam Surat Al Ahzab ayat 6 :

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri. Maksud dari ayat ini adalah hendaknya orang-orang mukmin itu mencintai Nabi mereka lebih dari mencintai diri mereka sendiri dalam segala urusan

3. Sabda Nabi Muhamad SAW :

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه وولده وماله

Tidak beriman seorang di antara kalian, hingga aku menjadi yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya dan hartanya”. (HR. Bukhari, Muslim, Imam Ahmad).

4. Riwayat Hadits yang menyatakan :

كنا مع النبي وهو آخذ بيد عمر بن الخطاب فقال عمر والله يا رسول الله لأنت أحب إلي من كل شيء إلا نفسي فقال لا والذي نفسي بيده حتى أكون أحب إليك من نفسك قال عمر فأنت الآن أحب إلي من نفسي فقال رسول الله الآن يا عمر

Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan Umar bin Khaththab radhiyallahu ’anhu. Lalu Umar berkata, ”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Tidak, demi yang jiwaku berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, ”Sekarang, demi Allah. Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna(.” HR. Bukhari no. 6632.)

Dalil-dalil di atas menyimpulkan bahwa Mencintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan kewajiban bagi setiap Muslim. Dan tentunya masih banyak sekali dalil-dalil lain yang senada, yang menekankan wajibnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena hal itu merupakan salah satu inti agama, hingga keimanan seseorang tidak dianggap sempurna hingga dia merealisasikan cinta tersebut. Bahkan seorang muslim tidak mencukupkan diri dengan hanya memiliki rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saja, akan tetapi dia dituntut untuk mengedepankan kecintaannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam - tentunya setelah kecintaan kepada Allah - atas kecintaan dia kepada dirinya sendiri, orang tua, anak dan seluruh manusia.

Mengapa Kita Harus Mencintai Nabi?

Mungkin sekali terbersit pertanyaan ini di benak kita, dan akan ada banyak sekali alasan untuk menjawab pertanyaan ini, di antaranya :

1. Cinta Nabi adalah salah satu indikator kesempurnaan iman seorang muslim sesuai sabda Rosul :

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من نفسه وولده وماله

“Tidak beriman seorang di antara kalian, hingga aku menjadi yang lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya dan hartanya” . (HR. Bukhari, Muslim, Imam Ahmad).

2. Cinta Nabi membuat seseorang bisa merasakan manisnya iman sesuai sabda Rosulullah SAW :

ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان،أن يكون الله ورسوله أحب إليه ممن سواهما،وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله،وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار

“Tiga perkara yang membuat seseorang akan mendapatkan manisnya iman yaitu: Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dari selain keduanya; mencintai saudaranya hanya karena Allah; dan benci kembali pada kekufuran sebagaimana benci dilemparkan dalam api.” (HR. Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43).

3. Cinta Nabi dapat menjadikan seseorang akan ditempatkan oleh Allah di surga bersama sang Nabi sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sebagai berikut:

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله : متى الساعة ؟ قال وماذا أعددت لها قال : لاشيء إلا أني أحب الله ورسوله ، فقال : أنت مع من أحببت

“Seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “yang aku persiapkan hanya cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

“(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari, Muslim).

Bagaimana Kita Mencintai Nabi?

Banyak orang yang menyatakan bahwa salah satu bentuk cinta kita pada Nabi adalah dengan membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi, benarkah statement ini, tentu saja kurang tepat. Semua Muslim dan Mu’min wajib membenarkan segala yang disampaikan oleh Nabi, tetapi apakah semuanya dikatagorikan sebagai pencinta Nabi? Lantas bagaimanakah mencintai Nabi yang sesungguhnya?

Salah satu adagium Arab menyatakan : " من أحب شيئا كثر ذكره " Barangsiapa yang mencintai sesuatu, akan banyak menyebutnya" . Muslim yang cinta nabinya akan basah bibirnya bershalawat pada nabi, sekurang-kurangnya akan ada untaian shalawat diucapkan saat nama Muhammad disebut, sabda Nabi :

البخيل الذي من ذكرت عنده فلم يصل علي

“Orang yang bakhil (pelit) adalah orang yang apabila namaku disebut di sisinya, dia tidak bershalawat kepadaku.”

(HR. Tirmidzi no. 3546 dan Ahmad (1/201))

Langkah nyata mencintai Nabi pula adalah dengan melaksanakan sunah-sunah (laku hidup) Nabi dalam kehidupan sehari-hari bahkan seringkali Nabi mengecam bahwa mereka yang tidak mengikuti atau membenci sunahnya adalah bukan bagian dari umatnya, seringkali Nabi bersabda:

من رغب عن سنتي فليس مني

“Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.”

Untuk dapat mencintai Nabi secara benar, kita harus tahu apa dan bagaimana sosok sang nabi, akhlaknya dan segala prilaku mulianya, hingga akhirnya kelak akhlak dan perbuatan kita akan didasarkan pada contoh yang beliau berikan. Karena mencintai Nabi bukan sekedar menyegarkan ingatan kita akan sejarah hidup beliau, tapi juga semestinya bisa membangkitkan semangat kita dalam meneladani segala akhlak dan perbuatan beliau.

Berkaitan dengan hal ini Rasulullah pernah memuji umatnya yang hidup belakangan setelah masa beliau tetapi memiliki ketertarikan terhadap ajarannya dan kecintaan terhadap sosoknya.

Rasulullah pernah suatu saat berkata di hadapan para sahabat: "Alangkah rindunya aku kepada para saudaraku", maka para sahabat berkata: "Bukankah kami ini semua adalah saudaramu wahai Rasulullah", maka Rasulullah menjawab : "Kalian adalah sahabatku", lalu para sahabat berkata : "Kalau begitu, siapa saudara-saudaramu itu wahai Rasulullah? ", maka Rasulullah menjawab: "Mereka adalah kaum yang datang setelah aku, mereka berangan-angan memandang wajahku, walaupun harus mengorbankan diri mereka dan keluarga mereka ".

Potret Kecintaan terhadap Nabi

Dalam referensi-referensi sejarah banyak diceritakan tentang gambaran kecintaan sahabat pada nabi, di antaranya sebagai berikut:

Zaid bin Al-Datsinah

Perbincangan yang terjadi antara Abu Sufyan bin Harb sebelum ia masuk Islam dengan sahabat Zaid bin Al-Datsinah ketika beliau tertawan oleh kaum musyrikin lantas dikeluarkan oleh penduduk Mekkah dari tanah haram untuk dibunuh. Abu Sufyan berkata, “Ya Zaid, maukah posisi kamu sekarang digantikan oleh Muhammad dan kami penggal lehernya, kemudian engkau kami bebaskan kembali ke keluargamu?” Serta merta Zaid menimpali, “Demi Allah, aku sama sekali tidak rela jika Muhammad sekarang berada di rumahnya tertusuk sebuah duri, dalam keadaan aku berada di rumahku bersama keluargaku!!!” Maka Abu Sufyan pun berkata, “Tidak pernah aku mendapatkan seseorang mencintai orang lain seperti cintanya para sahabat Muhammad kepada Muhammad!”.

Wanita Anshar

Kisah lain diceritakan oleh sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, “Di tengah-tengah berkecamuknya peperangan Uhud, tersebar desas-desus di antara penduduk Madinah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terbunuh, hingga terdengarlah isakan tangisan di penjuru kota Madinah. Maka keluarlah seorang wanita dari kalangan kaum Anshar dari rumahnya, di tengah-tengah jalan dia diberitahu bahwa bapaknya, anaknya, suaminya dan saudara kandungnya telah tewas terbunuh di medan perang. Ketika dia memasuki sisa-sisa kancah peperangan, dia melewati beberapa jasad yang bergelimpangan, “Siapakah ini?”, tanya perempuan itu. “Bapakmu, saudaramu, suamimu dan anakmu!”, jawab orang-orang yang ada di situ. Perempuan itu segera menyahut, “Apa yang terjadi dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?!” Mereka menjawab, “Itu ada di depanmu.” Maka perempuan itu bergegas menuju Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan menarik bajunya seraya berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak akan mempedulikan (apapun yang menimpa diriku) selama engkau selamat!”

Tsauban Maula Rasulullah

Imam Baghaawi meriwayatkan dari Tsauban Maula Rasulullah SAW. dimana beliau amat kasihan kepada Rasulullah SAW. dan tidak sabar lagi untuk menatap wajahnya. Maka pada suatu hari Rasulullah SAW. datang kepadanya. Tatkala itu air mukanya berubah, lalu baginda Rasulullah SAW. bersabda; ”Kenapakah air mukamu berubah wahai Tsauban? ”Lalu jawabnya; “Wahai Rasulullah, aku tidak sakit tetapi sesungguhnya apabila aku tidak dapat melihat wajahmu maka aku akan keluh kesah sampai aku dapat bertemu denganmu. Kemudian aku teingat akan Hari Qiamat dan aku bimbang tidak akan dapat melihatmu karena kamu akan diangkat bersama-sama para Nabi. Sekalipun aku dapat masuk syurga maka aku langsung tidak dapat melihatmu”. Maka turunlah ayat Al Qur’an;

“Dan barang siapa yang taat patuh kepada Allah dan Rasul-Nya maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah kepada mereka yang terdiri daripada nabi-nabi, Siddiqin, para Syuhada’, orang-orang salih dan merekalah sebaik-baik teman.”

Abu Bakar

Abu Bakar berkata, “Dalam perjalanan hijrah, saya sungguh sangat haus. Maka saya mengeluarkan segelas susu dan memberikannya kepada Rasulullah SAW. Saya berkata, ‘Minumlah, wahai Rasulullah!’ Abu Bakar melanjutkan, ‘Maka beliau meminumnya hingga aku pun merasa puas dan hilang dahagaku!!”.

Rasa puas dan segar yang dirasakan oleh Rasulullah setelah meminum susu tersebut menjalar kepada Abu Bakar sehingga ia pun merasa segar dan tidak haus lagi.

Azan Bilal

Demikian juga setelah Rasulullah SAW. wafat. Ketika Bilal RA datang dari negeri Syam ke kota Madinah setelah Nabi SAW. wafat, orang-orang memintanya untuk mengumandangkan adzan bagi mereka sebagaimana yang dilakukannya ketika Rasulullah SAW. masih hidup.

Penduduk kota Madinah, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa, berkumpul untuk mendengarkan adzannya. Ketika Bilal mengucapkan Allahu Akbar, Allahu Akbar, semuanya berteriak dan menangis. Sewaktu ia mengucapkan Asyhadu Anlaa Ilaaha Illallah, mereka mulai gaduh. Saat ia melafadzkan Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah, tidak ada seorang pun di Madinah yang tak menangis dan tak berteriak. Para gadis keluar dari kamar-kamar mereka dengan menangis. Hari itu menjadi seperti hari wafatnya Rasulullah SAW. Semuanya karena mereka teringat dengan masa Nabi SAW. yang cemerlang dan bercahaya.

Abdullah bin Umar

Demikian pula dengan Abdullah bin Umar. Ketika nama Rasulullah SAW. di sebut, ia selalu meneteskan air mata. Dan tidaklah ia melewati rumah Rasulullah SAW. melainkan ia pejamkan kedua matanya saking cintanya kepada Rasulullah SAW., ia selalu mengikuti atsar-atsar (kebiasaan) Rasulullah SAW. di setiap masjid, di mana Nabi pernah melakukan shalat di situ, ia pun shalat di situ. Saat berhaji, ketika wuquf di Arafah, ia selalu wuquf di tempat Rasulullah wuquf. Bahkan ia juga selalu memeriksa untanya di setiap jalan yang dilihatnya Rasulullah SAW. pernah memeriksa untanya di situ.

Kisah Arab Badwi

Dikisahkan, bahawasanya di waktu Rasulullah SAW. sedang asyik bertawaf di Ka'bah, beliau mendengar seseorang di hadapannya bertawaf, sambil berzikir: "Ya Karim! Ya Karim!"

Rasulullah SAW. menirunya membaca "Ya Karim! Ya Karim!" Orang itu Ialu berhenti di salah satu sudut Ka'bah, dan berzikir lagi: "Ya Karim! Ya Karim!" Rasulullah SAW. yang berada di belakangnya mengikut zikirnya "Ya Karim! Ya Karim!" Merasa seperti diolok-olokkan, orang itu menoleh ke belakang dan terlihat olehnya seorang laki-laki yang gagah, lagi tampan yang belum pernah dikenalinya. Orang itu Ialu berkata:

"Wahai orang tampan! Apakah engkau memang sengaja memperolok-olokkanku, karena aku ini adalah orang Arab Badwi? Kalaulah bukan karena ketampananmu dan kegagahanmu, pasti engkau akan aku laporkan kepada kekasihku, Muhammad Rasulullah".

Mendengar kata-kata orang Badwi itu, Rasulullah SAW. tersenyum, lalu bertanya: "Tidakkah engkau mengenali Nabimu, wahai orang Arab?" "Belum", jawab orang itu. "Jadi bagaimana kau beriman kepadanya?"

"Saya percaya dengan mantap atas kenabiannya, sekalipun saya belum pernah melihatnya, dan membenarkan ke-rosul-annya, sekalipun saya belum pernah bertemu dengannya," kata orang Arab Badwi itu pula.

Rasulullah SAW. pun berkata kepadanya: "Wahai orang Arab! Ketahuilah aku inilah Nabimu di dunia dan penolongmu nanti di akhirat!" Melihat Nabi di hadapannya, dia tercengang, seperti tidak percaya kepada dirinya.

"Tuan ini Nabi Muhammad?!" "Ya!" jawab Nabi SAW. Dia segera tunduk untuk mencium kedua kaki Rasulullah SAW. Melihat hal itu, Rasulullah SAW. menarik tubuh orang Arab itu, seraya berkata kepadanya:

"Wahal orang Arab! janganlah berbuat serupa itu. Perbuatan serupa itu balasannya dilakukan oleh hamba sahaya kepada juragannya, Ketahuilah, Allah mengutusku bukan untuk menjadi seorang yang takabbur yang meminta dihormati, atau diagungkan, tetapi demi membawa berita gembira bagi orang yang beriman, dan membawa berita menakutkan bagi yang mengingkarinya".

Ketika itulah, Malaikat Jibril AS. turun membawa berita dari langit. Dia berkata: "Ya Muhammad! Tuhan As-Salam mengucapkan salam kepadamu dan bersabda: "Katakanlah kepada orang Arab itu, agar dia tidak terpesona dengan belas kasih Allah. Ketahuilah bahwa Allah akan menghisabnya di hari Mahsyar nanti, akan menimbang semua amalannya, baik yang kecil maupun yang besar!" Setelah menyampaikan berita itu, Jibril kemudian pergi. Maka orang Arab itu pula berkata:

"Demi keagungan serta kemuliaan Tuhan, jika Tuhan akan membuat perhitungan atas amalan hamba, maka hamba pun akan membuat perhitungan dengannya!" kata orang Arab Badwi itu. "Apakah yang akan engkau perhitungkan dengan Tuhan?" Rasulullah bertanya kepadanya. 'Jika Tuhan akan memperhitungkan dosa-dosa hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa kebesaran maghfirahnya”, jawab orang itu. “Jika Dia memperhitungkan kemaksiatan hamba, maka hamba akan memperhitungkan betapa keluasan pengampunan-Nya. Jika Dia memperhitungkan kekikiran hamba, maka hamba akan memperhitungkan pula betapa kedermawanannya!”.

Mendengar ucapan orang Arab Badwi itu, maka Rasulullah SAW. pun menangis mengingatkan betapa benarnya kata-kata orang Arab Badwi itu, air mata beliau meleleh membasahi Janggutnya. Lantaran itu Malaikat Jibril turun lagi seraya berkata:

"Ya Muhammad! Tuhan As-Salam menyampaikan salam kepadamu, dan bersabda: “Berhentilah engkau dari menangis! Sesungguhnya karena tangismu, penjaga Arasy lupa dari bacaan tasbih dan tahmidnya, sehingga la bergoncang. Katakan kepada temanmu itu, bahawa Allah tidak akan menghisab dirinya, juga tidak akan memperhitungkan kemaksiatannya. Allah sudah rnengampuni semua kesalahannya dan la akan menjadi temanmu di syurga nanti!" Betapa sukanya orang Arab Badwi itu, apabila mendengar berita tersebut. la Ialu menangis karena tidak berdaya menahan keharuan dirinya.

Imam Malik bin Anas

Demikian pula Imam Malik RA, imam negeri hijrah (Madinah). Dalam biografinya disebutkan, Imam Malik tidak pernah berkendaraan di kota Madinah walaupun telah lemah dan telah tua usianya. la mengatakan, "Aku tak mau menaiki kendaraan di kota di mana jasad Rasulullah SAW dikebumikan." Ini karena penghormatan dan kecintaannya yang begitu besar kepada Rasulullah SAW.

Di antara penghormatan dan pengagungannya yang luar biasa terhadap Nabi adalah sebagaimana yang disebutkan dalam biografinya juga. Jika ingin menyampaikan hadits Rasulullah SAW., ia berwudhu, kemudian duduk di atas tilamnya. Dirapikannya jenggotnya, lalu ia duduk dengan penuh penghormatan dan penuh wibawa, kemudian barulah ia menyampaikan hadits. Ketika ditanya tentang hal itu, ia menjawab, "Aku ingin mengagungkan hadits Rasulullah SAW."

Imam Bukhari

Begitu pula Imam AI-Bukhari RA, yang sangat mencintai dan menghormati Rasulullah SAW. Jika ingin menulis hadits, pertama ia memulainya dengan bersuci dan melakukan shalat dua rakaat. Lalu saat menulis hadits, ia melakukannya dengan penuh penghargaan, penghormatan, dan pengagungan kepada Rasulullah SAW dan hadits-haditsnya.

Dan tentunya masih sangat banyak potret kecintaan Salafus Sholeh kepada sang Nabi yang tak dapat disebutkan satu persatu, bahkan banyak contoh yang cukup membuat kita tergugah untuk bisa menirunya, ada contoh di mana salah seorang Sahabat tidak dapat tidur nyenyak hanya untuk menunggu waktu shalat Subuh sehingga dia dapat melihat Rasulullah SAW. Suatu contoh yang lain, di mana salah seorang di antara mereka rela mengorbankan jiwa dan raganya, menghadapi kilatan pedang dan tombak, hanya untuk melindungi Rasulullah SAW., salah seorang di antara mereka berkata:

صدري دون صدرك, نحري دون نحرك يا رسول الله

“Wahai Rasulullah! Dadaku adalah tameng bagi dadamu, begitu juga leherku adalah tameng bagi lehermu.” (HR. Bukhari 3811, Muslim 1811)

Di dalam Shahih Bukhari terdapat kisah Khubaib bin Abdillah Al-Anshary yang ditawan oleh kaum musyrikin, ketika hendak membunuhnya, mereka berkata:

أتود أن محمدا مكانك و أنت في أهلك و مالك؟ قال: لوددت أني أقتل و أن رسول الله صلى الله عليه و سلم لا يشاك بشوكة

“Bagaimana menurutmu, apabila engkau bebas dan berada di antara harta dan keluargamu, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berada pada posisimu saat ini? Maka dia pun berkata: lebih baik saya mati, daripada harus melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertusuk walau oleh sebuah duri.” (HR. Bukhari 3045 dan Thobroni di dalam Al-Mu’jamul Kabir)

Sebagai penutup dalam pembahasan ini mari kita renungkan Cabang iman 14-16 disebutkan dalam bait syair:

وَاحْبُبْ نَبِيَّكَ ثُمَّ عَظِّمْ قَدْرَهُ * وَابْخِلْ بِدِيْنِكَ مَا يُرَى بِكَ مَأْثَمُ

Cintailah nabimu, kemudian agungkan derajatnya; dan kikirlah dengan agamamu selama dilihat perbuatan dosa bagimu.

Ya Allah Ya Rabbiy,
Kurniakanlah kami qalbu pecinta
Cinta akan Rasul-Mu terkasih
Dengan sebenar-benarnya cinta sejati
Yang bukan hanya pengakuan namun berupa pembuktian
Yang menjadikan pertemuan dengannya sebagai sebuah kerinduan…

***

Referensi

1. Al Maliki, Muhammad Alawy, Mafahim Yajibu an Tusohhah, Cairo, Dar Jawami’ul Kalim, 2002.

2. Al Maliki, Muhammad Alawy, Haula al Ihtifal bil Maulidi Nabawy As Syarif, Cairo, Dar Jawami’ul Kalim, 2002.

3. Al Maliki, Muhammad Alawy, Mafhumul Bid’ah ‘Inda Ulama As Sunnah wal Jama’ah, Cairo, Dar Jawami’ul Kalim, 2002.

4. Al Maliki, Muhammad Alawy, Mafhum Tathowwur wa Tajdid fi Syariah Islamiyah, Cairo, Dar Jawami’ul Kalim, 2002.

5. Al Ghimary, Abdullah Sidiq, Husnu Tafahhum wad Dark li Mas’alati Tark, Cairo, Maktabatil Qohiroh, 2002.

6. Al ‘Umrowy, Muhammad bin Muhammad, Mafhumul Bid’ah ‘Inda Ulama al Ummah, Tetouan, Morocco, Imam Malik Institute, 2008.

7. Atiyyah, Izzat Dr, Al Bid’ah Tahdiduha wa Mauqiful Islami Minha, Beirut, Darul Kitabil Araby, 1980.

8. Bin Mani’ , Isa Abdullah, Al Bid’ah al Hasanah Aslun Min ushuli at tasyri’

9. Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa, Manshuroh, Egypt, Darul Wafa 2005

10 Ibnu katsir, Bidayah wa Nihayah, Kairo, Egypt, Darul hadith, 2004

11. As Syatiby, Ibrahim bin Musa, Al I’tishom, Cairo, Dar Ibnu Affan, 1412 H

12. An Nawawi, Yahya bin Syaraf, Al Minhaj fi Syarhi Shohihi Muslim bin Hajjaj, Beirut, Dar Ihya Turats Araby, 1422 H

13. An Nawawi, Yahya bin Syaraf, Tahdzibul Asma wa Sifat, Beirut, Dar Ihya Turats Araby, 1422 H

14. Izzuddin, Ibnu Abdis Salam, Qowaidul Ahkam fi Masholihil Anam, Damascus, Darul Fikr Mu’ashir, 1416 H.

15. As Suyuthy, Jalaluddin Abdur Rahman, Asybah wa Nazhoir, Beirut, Darul Kutub Ilmiyah, 1403 H.

16. As Suyuthy, Jalaluddin Abdur Rahman, Husnul Maqshid Fi Amalil Maulid, Beirut, Darul kutub Ilmiyah, 1405 H.

17. Al Jazairi, Abu Bakar Jabir, Al Inshof fima Qila fil Maulid minal Ghuluw wal Ijhaf, Riyadh, Direktorat Riset Ilmiah dan Fatwa, 1405 H.

18. As Sho’idy, Abdul Hakam Dr, Al I’tidal fima Sya’a ‘anil Bid’ati min Aqwal, Cairo, Markazul Kitab, 1993.

19. Al ‘Utsaimin, Muhammad Sholeh, Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida, Tanpa tahun dan penerbit.

20. W Meri, Josep, Medieval Islamic Civilization an Encyclopedia

21. Katz, Marion Holmes, The Birth of the Prophet Muhammad: Devotional Piety in Sunni Islam, Newyork,2007.

22. Kaptein, N.J.G, Muhammad's Birthday Festival: Early history in the Central Muslim Lands and Development in the Muslim West until the 10th/16th, Leiden, 1993.

23. Sanduby, Hasan, Tarikh al Ihtifal Bil Maulid Annabawi Min Ashril Islam,Kairo, 1948.

24. Textbook Tarikh Alam Islami, The Institute for Islamis Studies Press,Cairo, 2004

25. Textbook Al Funun wal Imarah Islamiyyah, The Institute for Islamis Studies Press,Cairo, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar